Tidak Hanya Resesi, Kini Virus Corona Bisa Picu Currency War!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
09 September 2020 08:05
dollar
Foto: REUTERS/Dado Ruvic

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) tidak hanya menimbulkan krisis kesehatan global, tetapi juga membawa perekonomian global ke jurang resesi. Negara maju hingga negara emerging market mengalami kontraksi ekonomi yang tajam.

Banyak yang sudah masuk resesi di kuartal II-2020, dan banyak lagi yang akan menyusul di kuartal ini.

Hingga saat ini sudah 47 negara sah mengalami resesi. Maklum saja, demi meredam penyebaran virus corona, pemerintah mengorbankan sektor ekonomi, kebijakan pembatasan sosial (social distancing) hingga karantina wilayah (lockdown) diterapkan, akibatnya roda perekonomian melambat signifikan bahkan nyaris mati suri. Resesi pun tak terhindarkan.

Amerika Serikat, sang negeri Adikuasa, negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia menjadi salah satu yang mengalami kontraksi produk domestik bruto (PDB) yang sangat parah. Berdasarkan data pembacaan kedua, PDB kuartal II-2020 dilaporkan sebesar -31,7%, menjadi kontraksi ekonomi terparah sepanjang sejarah AS. Sementara di kuartal I-2020, PDB Negeri Paman Sam -5%, sehingga sah mengalami resesi.

Selain resesi, Covid-19 kini bisa memicu babak baru currency war atau perang mata uang. Pada tahun lalu, isu perang mata uang mencuat setelah China mendevaluasi kurs yuan melawan dolar AS.

Devaluasi mata uang bertujuan agar produk yang dihasilkan menjadi kompetitif di pasar internasional, sehingga permintaan ekspor akan meningkat.

Akibat aksinya tersebut, China disebut manipulator mata uang oleh AS. Selain China, Presiden AS, Donald Trump, pada pertengahan tahun lalu juga "menyemprot" bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB), yang mengumumkan rencana menggelontorkan stimulus moneter, dan membuat kurs euro jeblok. Kala itu, ECB masih di bawah komando Mario Draghi, yang langsung diserang Trump melalui akun Twitternya.



Hal yang sama berisiko terjadi di tahun ini, sebabnya kurs euro saat ini terus bergerak naik. Pada Selasa (1/9/2020) lalu, euro menyentuh level US$ 1,2000 melawan dolar AS. Kali terakhir euro menyentuh US$ 1,2000 pada awal Mei 2018, artinya posisi tersebut merupakan yang tertinggi dalam lebih dari 2 tahun terakhir.

Setelah mencapai level tersebut, euro mulai berbalik melemah akibat "dicolek" oleh ekonom European Central Bank (ECB) Philip Lane. Selasa lalu, ketika kurs euro menyentuh level US$ 1,2000, Lane mengatakan nilai tukar euro-dolar AS "penting" dalam menentukan kebijakan moneter.

Pernyataan tersebut menjadi indikasi ECB kemungkinan akan bertindak untuk meredam penguatan euro.

meDalam kondisi normal penguatan kurs euro mungkin tidak akan menjadi masalah, tetapi dalam kondisi ekonomi yang terpuruk tentunya bisa menjadi masalah serius. PDB zona euro (19 negara pengguna mata yang euro) mengalami kontraksi 14,7% year-on-year (YoY) di kuartal II-2020 lalu. Kontraksi tersebut menjadi yang paling parah sepanjang sejarah.

Di kuartal sebelumnya, PDB mengalami kontraksi 3,2% YoY, sehingga zona euro sah mengalami resesi.

Selain resesi, blok 19 negara tersebut kini mengalami masalah deflasi. Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan Agustus dilaporkan -0,2% YoY turun dari bulan Juli 0,4$ YoY. Deflasi tersebut menjadi yang pertama sejak bulan Mei 2016.

Sementara IHK inti yang menjadi fokus ECB merosot menjadi 0,4% YoY dari bulan sebelumnya 1,2% IHK inti tersebut kini sudah jauh dari proyeksi ECB tahun ini sebesar 0,8%.

Dalam kondisi ekonomi yang terpuruk, penguatan euro tentunya akan semakin memperburuk situasi, pemulihan ekonomi berisiko berjalan lambat, dan inflasi rendah bisa berlangsung dalam waktu yang lama. 

Nilai tukar euro sudah mencapai level tertinggi dalam lebih dari 2 tahun terakhir, tetapi menurut Reuters, indeks euro kini sudah berada di level tertinggi dalam 6 tahun terakhir.

"Penguatan euro sangat luar biasa, dan ECB harus merespon itu," kata Jim Caron, manajer fixed income portofolio di Morgan Stanley Investment Management, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (7/9/2020).

"Apakah mereka (ECB) akan mengatakan sesuatu seperti 'kami akan melakukan intervensi?' Kami pikir mereka tidak akan mengatakan itu, tetapi itu akan membawa kurs euro menguat kembali," tambahnya.

ECB tidak bisa melakukan intervensi langsung dengan tujuan mendevaluasi kurs euro karena akan dianggap sebagai manipulasi mata uang, sehingga tindakan yang diambil bank sentral tersebut kemungkinan terbatas di intervensi verbal.

Seperti disebutkan di halaman sebelumnya, euro berbalik melemah setelah "dicolek" Philip Lane. Meski demikian, pernyataan Lane mengenai nilai tukar euro tersebut dikatakan masih perlu didalami lagi apakah termasuk intervensi verbal atau bukan.

"Apakah pernyataan Lane menjadi penanda intervensi verbal pertama yang dilakukan masih harus di dalami lagi, tetapi itu bisa menjadi penanda penguatan euro akan menjadi sorotan saat konferensi pers ECB 10 September mendatang," kata Fransesco Pesole, ahli strategi di ING Bank.

ECB yang kini di bawah komando Christine Lagarde akan mengumumkan kebijakan moneter pada Kamis (10/9/2020) nanti, dan pernyataannya terkait kurs euro paling dinanti pelaku pasar.

ECB saat ini memiliki program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai 1,35 triliun euro yang disebut Pandemic Emergency Purchase Programme (PEPP).

Program tersebut ditujukan untuk membantu perekonomian yang merosot akibat Covid-19. Philip Lane mengindikasikan PEPP juga merupakan program kunci untuk mendorong inflasi mendekati target jangka panjang 2%.

Reuters melaporkan ada kemungkinan ECB akan menggunakan PEPP secara penuh. Reuters melaporkan, hingga saat ini PEPP yang sudah dikucurkan ECB sebesar 497,9 miliar euro, artinya masih ada sekitar 853 miliar euro yang belum digunakan. 

Sementara beberapa ekonom memprediksi nilai PEPP akan ditambah sebesar 500 miliar euro di akhir tahun ini.

Seperti tahun lalu, ketika Draghi mengumumkan akan menggelontorkan stimulus moneter, euro bereaksi dengan merosot tajam. Hal yang sama kemungkinan akan terjadi jika Lagarde mengumumkan tambahan PEPP Kamis nanti. Secara tidak langsung kebijakan tersebut akan mendevaluasi kurs euro terhadap dolar AS, dan babak baru currency war bisa saja muncul.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular