Rupiah Keok Lagi, tapi Lumayan Tak Separah Kemarin

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
03 September 2020 16:26
Dollar-Rupiah
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah mencatat pelemahan 3 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (3/9/2020). Kebangkitan dolar AS menjadi pemicu pelemahan rupiah, tetapi sentimen dari dalam negeri menjadi penekan utama.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,07% di Rp 14.750/US$. Depresiasi rupiah membengkak hingga 0,54% di Rp 14.820/US$.

Di penutupan perdagangan posisi rupiah membaik, berada di level 14.760/US$, melemah 0,14%. Kemarin rupiah merosot 1,2%, sehingga pelemahan hari ini bisa dikatakan "lumayan". 

Mayoritas mata uang utama Asia melemah melawan dolar AS hari ini, rupiah kali ini bukan yang terburuk. Hingga pukul 15:10 WIB, rupee India dan baht Thailand menjadi yang terburuk dengan pelemahan 0,19%.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.

Mayoritas mata uang utama Asia yang berada di zona merah menunjukkan kebangkitan dolar AS yang juga terlihat dari indeksnya yang naik dari level terendah dalam lebih dari 2 tahun terakhir. Sejak memasuki kuartal III-2020, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini merosot lebih dari 5% ke 92,338 di akhir Agustus lalu. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak April 2018.

Namun memasuki bulan September, indeks dolar bangkit, dalam 2 hari terakhir mencatat penguatan 0,76%. Sementara hingga sore ini, indeks dolar AS menguat tipis 0,04%.

Melansir CNBC International, penguatan tersebut terjadi akibat investor yang mengurangi posisi jual dolar AS, khususnya terhadap euro. Euro merupakan kontributor terbesar di Indeks dolar AS, ketika mata uang 19 negara tersebut melemah, maka indeks dolar AS akan menguat.

Meski demikian, para analis mengatakan penguatan dolar AS hanya sementara, ke depannya akan kembali melemah.

"Anda bisa melihat bangkitnya dolar AS sebagai sedikit perubahan tren, setelah turun dalam waktu yang lama. Tetapi itu hanya berlangsung dalam jangka pendek," kata Jason Wong, ahli strategi pasar senior di BNZ, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (3/9/2020).

"Itu (kenaikan dolar setelah turun tajam) hanya jeda, para investor masih cukup bearish," ujar Wong yang melihat bank sentral AS akan menahan suku bunga rendah dalam waktu yang lama, sehingga dolar akan tertekan lagi.

Tetapi jangan senang dulu, rupiah belum tentu juga akan menguat meski dolar AS kembali melemah. Sebab, tekanan bagi rupiah datang dari dalam negeri.

Di pekan ini, Mata Uang Garuda tertekan akibat rencana Revisi Undang-Undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Dalam revisi ini akan ada banyak beberapa pasal yang dihapus dan juga ditambahkan.

Salah satu yang disoroti dalam revisi tersebut adalah adanya dewan moneter yang diketuai Menteri Keuangan, yang nantinya akan ikut dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG), bahkan juga memiliki hak suara dalam menentukan kebijakan BI. Hal tersebut dikhawatirkan akan menghilangkan independensi BI.

Melansir CNBC International, Kepala Ekonom Asean di Nomura, Euben Paracuelles, mengatakan revisi untuk menetapkan dewan moneter yang diketuai oleh menteri keuangan adalah "tidak biasa" dan tidak sejalan dengan praktek terbaik tentang bagaimana kebijakan moneter seharusnya ditetapkan.

"Investor mungkin melihat tersebut sebagai masalah besar, yang dapat memicu capital outflow, yang pada akhirnya menekan nilai tukar rupiah," katanya dalam program "Squawk Box Asia" di CNBC International, Rabu (2/9/2020)

Selain itu kemungkinan program "burden sharing" pemerintah dan Bank Indonesia (BI) berlanjut hingga tahun 2022 juga memukul rupiah.

Hal itu diisyaratkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada jurnalis media asing Selasa (1/9/2020) lalu di istana Bogor. Jokowi mengungkapkan, jika pertumbuhan ekonomi tahun 2021 mencapai target 4,5%-5,5% maka pemerintah tidak perlu lagi melakukan program "burden sharing" di tahun 2022.
Artinya, jika pertumbuhan ekonomi tak mencapai target, maka program "burden sharing" akan kembali dilakukan.

"Burden sharing" merupakan program dimana BI akan membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon. Program tersebut sudah dilakukan mulai awal Juli lalu.

Ada kecemasan di pasar "burden sharing" akan memicu kenaikan inflasi di Indonesia akibat semakin banyaknya jumlah uang yang beredar.

Ketika inflasi meningkat, maka daya tarik investasi di Indonesia menjadi menurun, sebab real return yang dihasilkan menjadi lebih rendah. Hal ini dapat memukul nilai tukar rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular