
Rupiah Masih Lemas Aja Nih, Kenapa Ya?

Tersiar kabar bahwa ada kemungkinan BI tetap diminta berkontribusi dalam pembiayaan defisit anggaran alias burden sharing setidaknya sampai 2022. Kepada para jurnalis media asing di Istana Bogor, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa jika pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa berada di kisaran 4,5-5,5%, maka burden sharing mungkin tidak lagi dibutuhkan pada 2022.
Pernyataan Jokowi bisa dimaknai bahwa masih ada peluang pemerintah akan meminta bantuan kepada BI untuk membiayai defisit anggaran setidaknya hingga 2022, andai pertumbuhan ekonomi di bawah target. Pelaku pasar kecewa karena mengira burden sharing hanya kebijakan jangka pendek, sekali pukul, ad hoc, one off. Namun ternyata ada kemungkinan bertahan lama.
BI yang tetap cawe-cawe pembiayaan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dikhawatirkan akan menambah jumlah uang beredar. Sebagai informasi, sampai dengan 18 Agustus BI telah membeli obligasi pemerintah di pasar perdana (baik lelang, greenshoe options, sampai private placement) senilai Rp 42,96 triliun. Apabila situasi belum kondusif, maka sangat mungkin jumlah ini akan terus bertambah karena pasar tidak bisa diharapkan untuk menyerap Surat Berharga Negara (SBN).
Gelontoran uang dari BI tersebut akan menambah jumlah uang beredar di perekonomian. Ketika jumlah uang beredar bertambah, maka inflasi akan terjadi karena nilai uang menjadi turun.
Inflasi akan membuat imbalan berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah (terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) ikut terpangkas. Akibatnya, investor masih menjauh dari pasar keuangan Indonesia. Kekurangan 'darah', rupiah pun tidak punya pilihan selain melemah.
(aji/aji)