Rupiah Keok Sentuh Rp 14.800/US$, Ini Kata Analis Asing

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
02 September 2020 16:37
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah cukup bergejolak pada perdagangan Rabu (2/9/2020) jika dibandingkan pergerakan dalam beberapa pekan terakhir. Nilai tukar rupiah sempat merosot 1,61% ke Rp 14.800/US$ sebelum mengakhiri perdagangan di level Rp 14.740/US$, melemah 1,2% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Dinamika yang terjadi di dalam negeri menjadi pemicu pelemahan rupiah, bahkan disorot oleh para analis dari luar negeri.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah menyusun draf Revisi Undang-Undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Dalam revisi ini akan ada banyak beberapa pasal yang dihapus dan juga ditambahkan.

Salah satu yang disoroti dalam revisi tersebut adalah adanya dewan moneter yang diketuai Menteri Keuangan, yang nantinya akan ikut dalam Rapat Dewan Gubeernur (RDG), bahkan juga memiliki hak suara dalam menentukan kebijakan BI. Hal tersebut dikhawatirkan akan menghilangkan independensi BI.

Melansir CNBC International, Kepala Ekonom Asean di Nomura, Euben Paracuelles, mengatakan revisi untuk menetapkan dewan moneter yang diketuai oleh menteri keuangan adalah "tidak biasa" dan tidak sejalan dengan praktek terbaik tentang bagaimana kebijakan moneter seharusnya ditetapkan.

"Investor mungikin melihat tersebut sebagai masalah besar, yang dapat memicu capital outflow, yang pada akhirnya menekan nilai tukar rupiah," katanya dalam program "Squawk Box Asia" di CNBC International hari ini.

Sementara itu, ekonom dari Citi Research, Helmi Arman, mengatakan kemungkinan independensi BI akan semakin lemah meski tidak semua revisi yang diajukan akan disetujui, dan kebijakan moneter ke depannya akan sejalan dengan tujuan para pemimpin politik.

"DPR mungkin tidak akan mengesahkan semua revisi undang-undang, tetapi kemungkinan independensi BI akan melemah," ujarnya.

"Secara keseluruhan, kami pikir revisi yang diusulkan akan memungkinkan kebijakan moneter sinkron dengan tujuan para pemimpin politik."


"Meskipun hal ini dapat dibenarkan dalam keadaan luar biasa, kekhawatiran kami pada satu titik di masa depan, revisi ini akan membawa ke periode akumulasi risiko yang mengganggu stabilitas," kata Arman sebagaimana dilansir CNBC Internasional.

Di awal pekan ini, Tim Ahli Baleg dalam pemaparannya mengatakan, bahwa dalam RUU ini akan ada beberapa pasal lama yang dihapus dan disempurnakan dengan yang baru. Salah satunya adalah pasal 43 yang akan disempurnakan.

Pasal 43 ini berisi mengenai Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang dilaksanakan setiap bulannya. Jika sebelumnya RDG hanya dilakukan oleh BI saja, dalam RUU ini Pemerintah akan ikut andil.

"Terkait mengenai RDG, sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan, untuk menetapkan kebijakan umum di bidang moneter yang dihadiri oleh seorang atau lebih Menteri di bidang perekonomian serta menteri keuangan yang mewakili pemerintah," ujar tim ahli tersebut, Senin (31/8/2020).
Pemerintah tidak hanya akan ikut dalam RDG bulanan BI, tetapi pemerintah juga memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan hasil rapat.

"Yang mewakili pemerintah dengan hak bicara dan hak suara," kata dia.


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular