
Goyah! Dipukul Luar-Dalam, Rupiah Ambrol ke Rp 14.800/US$

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (2/9/2020), mendapat tekanan dari luar negeri dan dalam negeri.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,24% di Rp 14.600/US$. Tidak lama, depresiasi rupiah membengkak hingga 1,61% ke Rp 14.800/US$, terlemah sejak 18 Agustus lalu.
Posisi rupiah membaik, pada pukul 12:00 WIB berada di level Rp 14.750/US$, melemah 1,27% di pasar spot.
Dari eksternal, indeks dolar AS yang bangkit dari keterpurukan membuat rupiah tertekan.
Kenaikan indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut dipicu rilis data manufaktur AS yang melesat tinggi di bulan Agustus. Institute for Supply Management (ISM) kemarin melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur melesat menjadi 56 dari bulan Juli 54,2.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawah 50 berarti kontraksi, sementara di di atasnya berarti ekspansi.
PMI manufaktur bulan Agustus tersebut merupakan yang tertinggi sejak Januari 2019. Ekspansi sektor manufaktur yang meningkat memunculkan harapan perekonomian AS bisa segera bangkit dari kemerosotan tajam, indeks dolar yang sebelumnya merosot 0,65% ke level terendah lebih dari 2 tahun terakhir, berbalik menguat 0,21% kemarin, dan berlanjut 0,01% hari ini. Rupiah pun tertekan.
Sementara itu dari dalam negeri, rupiah tertekan akibat kemungkinan program "burden sharing" pemerintah dan Bank Indonesia (BI) berlanjut hingga tahun 2022.
Hal itu diisyaratkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada jurnalis media asing kemarin di istana Bogor. Jokowi mengungkapkan, jika pertumbuhan ekonomi tahun 2021 mencapai target 4,5%-5,5% maka pemerintah tidak perlu lagi melakukan program "burden sharing" di tahun 2022.
Artinya, jika pertumbuhan ekonomi tak mencapai target, maka program "burden sharing" akan kembali dilakukan.
"Burden sharing" merupakan program dimana BI akan membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon. Program tersebut sudah dilakukan mulai awal Juli lalu.
Ada kecemasan di pasar "burden sharing" akan memicu kenaikan inflasi di Indonesia akibat semakin banyaknya jumlah uang yang beredar.
Ketika inflasi meningkat, maka daya tarik investasi di Indonesia menjadi menurun, sebab real return yang dihasilkan menjadi lebih rendah. Hal ini dapat memukul nilai tukar rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukan Rupiah, Juara Asia Semester I-2020 Adalah Peso Filipina
