PDB Nyungsep, Dolar Australia Malah Terbang Dekati Rp 11.000

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
02 September 2020 11:22
Australian dollars are seen in an illustration photo February 8, 2018. REUTERS/Daniel Munoz
Foto: dollar Australia (REUTERS/Daniel Munoz)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Australia menguat tajam melawan rupiah pada perdagangan Rabu (2/9/2020), padahal data menunjukkan pertumbuhan ekonomi Negeri Kanguru nyungsep di kuartal II-2020.

Ini berarti, rupiah mendapat tekanan dari dalam negeri, hingga kurs dolar Australia makin dekat dengan level Rp 11.000/AU$.

Melansir data Refinitiv, dolar Australia sempat melesat 1,37% ke Rp 10.882,44/AU$ pagi ini, sebelum berada di kisaran Rp 10.867,69/AU$ pada pukul 10.46 WIB.

Level tersebut merupakan yang tertinggi sejak November 2018, sementara kali terakhir dolar Australia berada di level Rp 11.000/AU$ pada September 2014 atau tepat 6 tahun lalu.

Biro Statistik Australia hari ini melaporkan produk domestic bruto (PDB) kuartal II-2020 berkontraksi alias negatif 7% quarter-to-quarter (QtQ). Kontraksi tersebut merupakan yang terbesar sepanjang sejarah pencatatan mulai tahun 1959.

Di kuartal I-2020 lalu, PDB berkontraksi 0,3%, sehingga Australia sah mengalami resesi teknikal.

Nyungsep-nya perekonomian Australia memang sudah diprediksi, semua karena pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19). Tetapi kemerosotan ini lebih dalam dari konsensus di Forex Factory -6%, begitu juga di Trading Economics -5,9%.

Sementara dibandingkan kuartal II-2019, atau secara year-on-year (YoY), PDB Australia mengalami kontraksi 6,3%.

Meski PDB Australia nyungsep, tetapi dolarnya masih perkasa bahkan malah melesat. Sebabnya, rupiah hari ini mengalami tekanan akibat kemungkinan program "burden sharing" pemerintah dan Bank Indonesia (BI) berlanjut hingga tahun 2022.

Hal itu diisyaratkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemarin di istana Bogor. Jokowi mengungkapkan, jika pertumbuhan ekonomi tahun 2021 mencapai target 4,5%-5,5% maka pemerintah tidak perlu lagi melakukan program "burden sharing" di tahun 2022.

Artinya, jika pertumbuhan ekonomi tak mencapai target, maka program "burden sharing" akan kembali dilakukan.

"Burden sharing" merupakan program dimana BI akan membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon. Program tersebut sudah dilakukan mulai awal Juli lalu.

Ada kecemasan di pasar "burden sharing" akan memicu kenaikan inflasi di Indonesia akibat semakin banyaknya jumlah uang yang beredar.

Ketika inflasi meningkat, maka daya tarik investasi di Indonesia menjadi menurun, sebab real return yang dihasilkan menjadi lebih rendah. Hal ini dapat memukul nilai tukar rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukan Rupiah, Juara Asia Semester I-2020 Adalah Peso Filipina

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular