Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Rupiah mungkin butuh 'rehat' sejenak setelah menjalani tren apresiasi.
Pada Jumat (28/8/2020), US$ 1 setara dengan Rp 14.650 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dengan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya atau stagnan.
Namun tidak lama kemudian rupiah masuk jalur merah. Pada pukul 09: WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.655 di mana rupiah melemah tipis 0,03%.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan apresiasi 0,14% di hadapan dolar AS. Mata uang Tanah Air sedang berada di jalur tanjakan.
Dalam lima hari perdagangan terakhir, rupiah hanya melemah sekali. Selama lima hari tersebut, apresiasi rupiah mencapai 1,21%.
Oleh karena itu, menjadi wajar bahwa akan tiba saatnya rupiah mengalami koreksi teknikal. Rupiah yang sudah menguat tajam akan memancing hasrat investor untuk melakukan aksi jual.
Kebalikan dengan rupiah, dolar AS yang sudah lama tertekan akhirnya bangkit walau perlahan. Pada pukul 07:48 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,07%.
Maklum, dolar AS memang sudah lumayan lama tertekan. Dalam sebulan teakhir, Dollar Index masih terkoreksi 0,42% secara point-to-point. Bahkan selama tiga bulan ke belakang koreksinya mencapai 5,37%.
Jadi dolar AS memang punya momentum untuk pulih. Dolar AS yang sudah kelewat 'murah' tentu menjadi menarik di mata investor, yang kemudian melakukan aksi borong.
Namun ke depan, sepertinya tren pelemahan dolar AS masih akan terjadi. Ini disebabkan oleh perubahan kebijakan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed).
Jerome 'Jay' Powell, Ketua The Fed, mengubah target inflasi dari 2% dalam jangka menengah menjadi rata-rata 2% dalam jangka menengah. Artinya, The Fed akan memberi toleransi inflasi rendah sepanjang secara rerata bisa menyentuh 2%.
Perubahan ini dilakukan untuk merespons dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang sepertinya bakal terus terasa selama beberapa waktu ke depan. Pandemi virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini membuat aktivitas ekonomi turun drastis, baik di sisi produksi maupun permintaan.
"Risiko ke bawah terhadap inflasi dan pasar tenaga kerja meningkat. Perubahan ini mencerminkan niat kami untuk mewujudkan pasar tenaga kerja yang kuat tanpa perlu khawatir terhadap percepatan laju inflasi," sebut Powell, sebagaimana dikutip oleh Reuters.
Melalui pendekatan ini, pelaku pasar meyakini bahwa suku bunga akan tetap rendah untuk beberapa waktu ke depan. The Fed akan mempertahankan suku bunga rendah plus berbagai kebijakan lain untuk mendongrak pertumbuhan ekonomi tanpa harus mencemaskan risiko inflasi.
Semestinya ini menjadi sentimen negatif buat dolar AS. Suku bunga rendah berarti berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS (terutama di instrumen berpendapatan tetap) menjadi minim imbal hasil.
"Ketika bank sentral lain mulai melakukan pengetatan, The Fed mungkin akan tertinggal. Perbedaan suku bunga tidak berpihak kepada dolar AS. Jadi dalam jangka menengah-panjang, ini akan menjadi sentimen negatif bagi greenback," kata Edward Moya, Senior Market Analyst OANDA, seperti dikutip dari Reuters.
Oleh karena itu, kemungkinan penguatan dolar AS hari ini hanya sekadar technical rebound. Sebab secara fundamental sulit bagi mata uang Negeri Paman Sam untuk terus menguat.
Situasi ini bisa dimanfaatkan oleh rupiah untuk kembali menguat. Ke depan, ruang penguatan rupiah masih terbuka mengingat sejak awal kuartal III-2020 hingga kemarin mata uang Ibu Pertiwi masih melemah 3,31%.
TIM RISET CNBC INDONESIA