
Dirut BRI Soal Krisis, Lebih Parah Covid-19 atau Krismon 98?

Jakarta, CNBC Indonesia- Indonesia telah menghadapi berbagai macam krisis, namun krisis akibat pandemi Covid-19 dinilai lebih dahsyat dibandingkan dengan krisis sebelumnya.
Hal ini diungkapkan oleh Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) Sunarso dalam Ngopi Bersama BUMN, Rabu (26/08/2020). "Kalau yang sudah segenerasi saya mungkin sudah merasakan empat kali krisis, dan tidak ada yang seberat yang hari ini dihadapi," kata Sunarso.
Pada krisis 1998 menurutnya lebih pada krisis regional yang dipicu oleh nilai tukar dan merembet dari Korea Selatan, Ke Thailand, kemudian ke Malaysia hingga akhirnya Indonesia. Di Indonesia sendiri yang dikatakan krisis moneter, kemudian berubah menjadi krisis ekonomi, hingga sosial dan politik serta dikatakan sebagai krisis multidimensional.
"Saat itu nilai tukar rupiah jatuh 540%, CAR perbankan minus 15,7%, NPL melonjak 48,6% dan kita sadar betapa rapuh risk manajemen kita. Tetapi yang paling kena hantam adalah korporasi yang akarnya tidak kuat," katanya.
Setelah itu pada 2008 krisis dipicu oleh Amerika Serikat dan kena ke nilai mata uang, dan berdampak pada suku bunga dan inflasi. Namun yang paling terkena dampaknya adalah segmen korporasi, dan saat itu manajemen risiko perbankan membaik dengan posisi NPL 3,2% dan CAR 16,8%. Yang paling merasakan dampak dari krisis saat ini adalah pasar keuangan
Kemudian dari siklus 10 tahunan menjadi 5 tahun, krisis pada 2013 dipicu oleh kegagalan salah satu negara di Eropa.
Sunarso karena ini adalah kegagalan bayar utang oleh negara yang terhantam adalah nilai tukar, suku bunga, dan inflasi. Saat itu CAR perbankan sangat baik 18,2%, NPL juga masih terjaga di kisaran 1,77%.
"Dari semua ini yang lagi-lagi yang kena adalah korporasi," ujarnya.
Krisis yang terjadi tahun ini, berbeda dari yang lainnya karena disebabkan oleh penyakit yang tidak hanya menyerang satu negara tetapi seluruh dunia. Demi menghindari penyakit yang belum ada obat dan pencegahannya ini, maka masyarakat tetap tinggal di rumah. Hal ini membuat aktivitas masyarakat menurun dan ekonomi terkontraksi.
"Bagi kami di BRI, ini krisis paling berat karena nasabahnya 80% UMKM. Krisis sebelumnya transimisi ke UMKM lama dan jauh, berbeda dengan yang sekarang," kata Sunarso.
Dia mencontohkan pada saat nilai tukar naik di krisis sebelumnya, tidak ada efek yang signifikan kepada UMKM atau pedagang yang mengandalkan keramaian masyarakat. Tetapi ketika dilakukan PSBB dan aktivitas masyarakat di laur menurun maka pendapatan mereka pun menurun.
"Pemulihannya menurut saya paling cepat pulih begitu aktivitas masyarakat kembali. Bagaimana upaya kita untuk menghidupkan kembali," ujarnya.
Dia mengatakan masyarakat dari sisi demand masih perlu didorong, karena tidak bisa hanya mendorong dari sisi suplai. Untuk itu langkah pemerintah untuk mendorong peningkatan demand sudah tepat untuk membuat roda ekonomi kembali berputar. Dengan begitu diharapkan ekonomi Indonesia tidak sampai terkontraksi lebih dalam.
(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Inovasi Digital, Strategi BRI Jaga Kinerja Kredit Konsumer