
Nasib Mata Uang BRICS: Dulu Disayang, Kini Ditendang

Jakarta, CNBC Indonesia - Lebih dari dua dekade lalu, sejumlah negara berkembang membentuk grup yang disebut BRIC. Juni 2009 menjadi awal terbentuknya grup yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, dan China. Pada 2010, Afrika Selatan (South Africa) bergabung sehingga nama grup ini menjadi BRICS.
Kemunculan BRICS menjadi perhatian dunia, sebab perekonomian negara ini memiliki dampak besar di regional masing-masing. Secara global, BRICS merepresentasikan 40% dari populasi penduduk dunia, dengan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 30% dari total PDB dunia.
China merupakan negara dengan PDB terbesar kedua di dunia di bawah Amerika Serikat, kemudian India, berada di urutan kelima, dan Brasil ke delapan. Rusia berada di urutan 11, sementara Afrika Selatan cukup jauh di urutan 32.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi BRICS juga tinggi, bahkan saat terjadi krisis finansial global 2008-2009 China dan India masih mampu mencatat pertumbuhan PDB yang tinggi.
Oleh karena itu, di awal kemunculannya BRICS menjadi negara-negara yang dilirik sebagai tujuan investasi. Di Brasil misalnya, investasi asing (Foreign Direct Investment) melesat mencapai rekor tertinggi di tahun 2010. Akibatnya di tahun tersebut kurs real Brazil menguat 4,77%. Bahkan jika dilihat sejak akhir 2008, real melesat lebih dari 28%.
Pada tahun yang sama hanya, yuan China menguat 3,46%, rupee India menguat 3,66%, rand Afrika Selatan melesat 10,7%, hanya rubel Rusia yang melemah 0,86%.
Sepuluh tahun berselang, mata uang BRICS yang berjaya malah beberapa menjadi yang paling terpuruk. Penyebabnya, pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang menyerang dunia, membuat perekonomian global merosot tajam menuju jurang resesi.
Situasi tersebut memukul mata uang negara-negara emerging market yang dianggap lebih berisiko ketimbang negara-negara maju. Apalagi berhadapan dengan dolar AS yang menyandang status safe haven, tentunya mata uang BRICS menjadi terpukul hebat. Hanya yuan China yang masih mampu menguat melawan dolar AS di tahun ini, sebabnya Negeri Panda sudah berhasil meredam penyebaran Covid-19.
Real Brasil menjadi mata uang yang paling terpukul. Sepanjang tahun ini ambrol 39,6%. Pada 8 Mei lalu, kurs real menyentuh 5,7171/US$, yang merupakan rekor terlemah sepanjang masa. Jika dilihat dari posisi akhir 2019 hingga ke rekor terlemah tersebut, kurs real ambrol 42,62%.
Aksi jual real bahkan terjadi sebelum kasus pertama Covid-19 dilaporkan di Brasil. Hal itu terjadi karena kepanikan pasar setelah virus corona menyebar ke berbagai negara.
Setelah pandemi Covid-19 masuk ke Brasil, perekonomian negara pemenang Piala Dunia sepakbola sebanyak 5 kali ini semakin nyungsep, yang memicu aksi jual lebih masif. Brasil kini menjadi negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di dunia, berdasarkan data Worldometer hingga saat ini jumlahnya lebih dari 3,16 juta orang, dengan lebih 2,7 juta sembuh, dan lebih dari 115 ribu orang meninggal dunia.
Pemerintah Brasil memprediksi PDB tahun 2020 akan mengalami kontraksi alias minus 4,7%, dan menjadi yang terburuk lebih dari 1 abad terakhir. Reuters melaporkan, pada bulan Maret terjadi capital outflow dari pasar saham dan obligasi Brasil sebesar US$ 22,5 miliar. Sepanjang bulan itu, kurs real ambles sekitar 14%.
Nasib yang sama juga diderita mata uang rand Afrika Selatan dan rubel Rusia yang ambrol lebih dari 20%, sementara rupee India melemah 4,25%.