
Nasib Mata Uang BRICS: Dulu Disayang, Kini Ditendang

Sebenarnya sebelum Covid-19 menyerang dunia, beberapa negara BRICS memang sudah dirundung masalah. China memang menjadi kekuatan ekonomi dunia, begitu juga India. Tetapi perekonomian Brasil justru menurun, bahkan mengalami resesi pada tahun 2015 dan 2016.
Sepanjang tahun 2015, PDB Brasil mengalami kontraksi 3,8% dan tahun berikutnya minus 3,6%. Penurunan harga komoditas saat itu menjadi pemicu merosotnya perekonomian Brasil, yang diperparah dengan kasus korupsi yang memicu ketidakstabilan politik.
Resesi yang dialami selama 2 tahun membuat tingkat pengangguran terus melesat hingga mencapai rekor tertinggi 13,7% di bulan Maret 2017. Sejak saat itu, tingkat pengangguran Brasil meski menurun tetapi masih di level 2 digit persentase.
Sementara itu Rusia mengalami krisis finansial pada periode 2014-2017, sebabnya harga minyak mentah dunia yang terjun bebas di tahun 2014. Komoditas ekspor utama negara yang dipimpin Vladimir Putin tersebut ambrol sekitar 50%.
Kemudian kurs ruble ambrol ke rekor terlemah sepanjang masa melawan dolar AS. Selain itu, Rusia juga menerima sanksi ekonomi dari negara-negara Barat akibat aksinya mencaplok wilayah Krimea Ukraina.
Anggota paling bontot, Afrika Selatan perekonomiannya dalam satu dekade terakhir memburuk dikatakan akibat mismanagement ekonomi selama bertahun-tahun.
Nick Price dari Fidelity Investment sebagaimana dilansir thisismoney.co.uk mengatakan meski pucuk pimpinan Afrika Selatan sudah berpindah ke Cyril Ramaphosa, tetapi masih sedikit perubahan yang terjadi.
Tingkat pengangguran di Afrika Selatan terus mengalami peningkatan setelah menjadi anggota BRICS. Tingkat penganguran terendah sebesar 21%, yang dicapai pada kuartal IV-2008, setelahnya terus meningkat. Bahkan saat ini tingkat penganggurannya mencapai 30,1% akibat pandemi Covid-19. Level tersebut merupakan rekor tertinggi sepanjang masa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]