Ekonomi AS Bangkit, Ternyata Jadi Kabar Buruk buat Rupiah

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
10 August 2020 13:31
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Senin (10/8/2020), padahal saat pembukaan Mata Uang Garuda menguat cukup signifikan.

Bangkitnya ekonomi AS memberikan 2 efek bagi rupiah, positif dan negatif, tetapi untuk hari ini efek negatifnya yang dominan akibat dilipatgandakan dengan memanasnya hubungan AS-China.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan hari ini dengan menguat 0,21% ke Rp 14.550/US$, tetapi tidak lama langsung berbalik melemah 0,27% ke Rp 14.620/US$. Hingga pukul 12:00 WIB, rupiah masih tertahan di level tersebut.

Tanda-tanda kebangkitan ekonomi AS terlihat dari rilis data tenaga kerja yang jauh lebih baik ketimbang sebelumnya. Tenaga kerja yang sebelum terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mulai terserap kembali, tingkat pengangguran menurun di bulan Juli, tenaga kerja kembali terserap, dan rata-rata upah per jam naik.

Rilis data tersebut membuat indeks dolar yang sebelumnya berada di level terendah 2 tahun bangkit, yang tentunya menjadi kabar buruk bagi rupiah.


Selain itu Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani empat perintah eksekutif pada Sabtu (8/8/2020) waktu setempat atau Minggu (9/8/2020) WIB. Salah satu dari empat perintah eksekutif itu berisi bantuan langsung kepada pengangguran senilai US$ 400 per pekan.

Bantuan senilai US$ 400 per pekan tersebut tentunya akan meningkatkan daya beli warga AS, yang lagi-lagi berpotensi memberikan dampak signifikan ke PDB.

Sehingga harapan akan kebangkitan ekonomi AS kembali muncul. Saat negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia ini bangkit negara-negara lainnya juga akan terkerek naik.

Bangkitnya perekonomian AS memang membuat indeks dolar ikut terungkit. Tetapi jika sentimen pelaku pasar membaik merespon sinyal kebangkitan ekonomi AS, rupiah justru juga diuntungkan. Kala sentimen membaik, maka aliran modal akan masuk lagi ke negara emerging market seperti Indonesia, rupiah mendapat rejeki.

Sayangnya sentimen pelaku pasar tak benar-benar membaik, sebabnya AS-China kembali panas. Penyebabnya undang-undang keamanan baru di Hong Kong.

Pemerintah AS memberlakukan sanksi bagi pejabat Hong Kong yang terlibat dalam penyusunan undang-undang yang dipandang represif tersebut. Salah satu pejabat yang terkena sanksi adalah Carrie Lam, Pemimpin Hong Kong. Sanksi yang dijatuhkan adalah pembekuan aset dan larangan bagi individu atau perusahaan AS untuk berurusan dengan mereka.

China tentu tidak terima. Beijing menilai langkah AS bak badut yang membuat lelucon.

"Niat AS untuk mendukung upaya anti-China terbukti telah menimbulkan kekacauan di Hong Kong. Kebijakan mereka yang seperti badut sangat konyol. Intimidasi dan ancaman tidak akan membuat rakyat China gentar," tegas keterangan resmi Kantor Penghubung China.

Memanasnya hubungan 2 raksasa ekonomi dunia ini merupakan kabar buruk bagi negara lainnya. Sebelum resesi terjadi di tahun ini, pada tahun lalu perekonomian global mengalami pelambatan signifikan akibat hubungan kedua negara yang memanas dan memicu perang dagang.

Sehingga sentimen pelaku pasar selalu memburuk ketika Washington-Beijing memanas, rupiah pun akhirnya tertekan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular