
Apes Bener Rupiah: Dibuang Investor, Dilibas Dolar

Jakarta, CNBC Indonesia - Minggu ini, dewi fortuna tak berpihak pada mata uang Tanah Air. Nilai tukar rupiah menjadi mata uang dengan kinerja paling buruk di kawasan Benua Kuning.
Pada perdagangan pasar spot kemarin, rupiah ditutup di Rp 14.580/US$. Dalam sepekan rupiah mengalami pelemahan 0,34% di hadapan dolar greenback.
Hasil survei terbaru dari Reuters menunjukkan sentimen pelaku pasar masih belum bagus terhadap rupiah, yang menjadi salah satu alasan sulitnya Mata Uang Garuda menguat belakangan ini. Rupiah menguat 2 kali tipis-tipis, melemah 2 kali, dan kemarin stagnan.
Lebih sedih lagi, hanya rupiah yang masih "dibuang" pelaku pasar dibandingkan mata uang Asia lainnya. Survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters yang menunjukkan investor masih mengambil posisi jual (short) rupiah.
Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.
Hasil survei yang dirilis pada Kamis (6/8/2020), menunjukkan angka 0,45 turun dibandingkan hasil survei sebelumnya 0,61. Artinya investor mengurangi posisi jual (short) rupiah, setelah mengalami kenaikan dalam 2 survei sebelumnya.
Bath Thailand sebelumnya menjadi satu-satunya mata uang yang menemani rupiah di angka positif dalam survei Reuters. Artinya, baht juga "dibuang" pelaku pasar. Tetapi survei terbaru menunjukkan posisi tersebut sudah berbalik, pelaku pasar kini kembali "mengkoleksi" baht, praktis rupiah satu-satunya mata uang Asia yang "dibuang" dalam survei tersebut.
Survei yang dilakukan Reuters tersebut konsisten dengan pergerakan di tahun ini. Pada bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi jual (short) rupiah, dengan angka survei yang dirilis Reuters sebesar 1,57. Semakin tinggi nilai positif, semakin besar posisi short rupiah yang diambil investor.
Memasuki bulan April, rupiah perlahan menguat dan hasil survei Reuters menunjukkan posisi short rupiah semakin berkurang, hingga akhirnya investor mengambil posisi long mulai pada 28 Mei lalu. Alhasil rupiah membukukan penguatan lebih dari 15% sejak awal April hingga awal Juni.
Kini investor kembali melakukan aksi "buang" rupiah dalam 3 survei berturut-turut, meski porsinya menurun di survei terbaru, tetapi tetap menjadi warning.
Nasib rupiah yang mengenaskan itu tak terlepas dari kabar buruk yang menimpa Tanah Air. Pertama, pekan ini angka keramat berupa pertumbuhan ekonomi RI diumumkan oleh BPS.
Hasilnya sudah bisa ditebak, mengecewakan. Pertumbuhan PDB RI pada kuartal kedua tahun ini tercatat mengalami kontraksi 4,19% (qoq) dan 5,32% (yoy). Sudah tiga kuartal berturut-turut output ekonomi RI terkontraksi, sementara secara tahunan (yoy) baru sekali.
Ketika ekonomi RI terancam resesi, pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) malah justru semakin merebak. Kemarin ada tambahan 2.473 kasus baru dan total kasus kumulatif kini sudah melampaui 120 ribu.
Dari total 2.473 kasus baru tersebut, sebanyak 665 atau lebih dari seperempatnya disumbang DKI Jakarta. Lonjakan kasus yang terjadi di DKI Jakarta membuat Gubernur Anies Baswedan memutuskan untuk memperpanjang periode PSBB hingga pertengahan Agustus.
Tak hanya itu saja, Anies mencoba membatasi mobilitas publik di ibu kota yang terpantau mulai ramai dengan penerapan ganjil genap di 25 ruas jalan. Menurut pemprov DKI Jakarta, ini merupakan salah satu kebijakan rem darurat (emergency brake).
DKI Jakarta menyumbang porsi paling besar terhadap PDB Indonesia dibandingkan dengan provinsi lainnya dan lebih dari 15%. Ketika kasus di DKI Jakarta terus mencetak rekor dan pembatasan makin diperketat, tentunya roda ekonomi bisa makin melambat, aktivitas jadi mati suri.
Ancaman resesi yang kian nyata ini membuat investor cemas dan memilih untuk membuang mata uang rupiah sebagai mata uang negara berkembang yang dinilai memiliki risiko yang tinggi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS