Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah gagal menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS), tetapi juga tidak melemah, alias stagnan pada perdagangan Jumat (7/8/2020).
Hasil survei terbaru dari Reuters menunjukkan sentimen pelaku pasar masih belum bagus terhadap rupiah, yang menjadi salah satu alasan sulitnya Mata Uang Garuda menguat belakangan ini.
Rupiah menguat 2 kali tipis-tipis, melemah 2 kali, dan hari ini stagnan, secara total melemah 0,34% sepanjang pekan ini.
Lebih sedih lagi, hanya rupiah yang masih "dibuang" pelaku pasar dibandingkan mata uang Asia lainnya. Survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters yang menunjukkan investor masih mengambil posisi jual (short) rupiah.
Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.
Hasil survei yang dirilis pada Kamis (6/8/2020), menunjukkan angka 0,45 turun dibandingkan hasil survei sebelumnya 0,61. Artinya investor mengurangi posisi jual (short) rupiah, setelah mengalami kenaikan dalam 2 survei sebelumnya.
Bath Thailand sebelumnya menjadi satu-satunya mata uang yang menemani rupiah di angka positif dalam survei Reuters. Artinya, baht juga "dibuang" pelaku pasar. Tetapi survei terbaru menunjukkan posisi tersebut sudah berbalik, pelaku pasar kini kembali "mengkoleksi" baht, praktis rupiah satu-satunya mata uang Asia yang "dibuang" dalam survei tersebut.
Survei yang dilakukan Reuters tersebut konsisten dengan pergerakan di tahun ini. Pada bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi jual (short) rupiah, dengan angka survei yang dirilis Reuters sebesar 1,57. Semakin tinggi nilai positif, semakin besar posisi short rupiah yang diambil investor.
Memasuki bulan April, rupiah perlahan menguat dan hasil survei Reuters menunjukkan posisi short rupiah semakin berkurang, hingga akhirnya investor mengambil posisi long mulai pada 28 Mei lalu. Alhasil rupiah membukukan penguatan lebih dari 15% sejak awal April hingga awal Juni.
Kini investor kembali melakukan aksi "buang" rupiah dalam 3 survei berturut-turut, meski porsinya menurun di survei terbaru, tetapi tetap menjadi warning.
Pada Rabu lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka output perekonomian atau Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia periode kuartal II-2020. Seperti yang sudah diduga, terjadi kontraksi alias pertumbuhan negatif.
Kepala BPS, Suhariyanto, menyebutkan PDB Indonesia periode April-Juni 2020 terkontraksi -5,32% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/YoY).
"Terjadi kontraksi dalam, PDB Q1 kita sudah turun dalam meski year-on-year masih positif. Dan PDB kuartal II kontraksi negatif 5,32% (year-on-year)," kata Suhariyanto.
Sementara dibandingkan kuartal sebelumnya (quarter-to-quarter/QtQ), PDB kuartal II-2020 ini mengalami kontraksi -4,19%.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekonomi Tanah Air terkontraksi -4,53% YoY dan -2,89% QtQ. Untuk keseluruhan 2020
Dengan PDB -5,32% YoY di kuartal II-2020, artinya pintu gerbang menuju resesi sudah terbuka, dan Indonesia terancam memasukinya di kuartal III-2020.
Untuk diketahui, suatu negara dikatakan mengalami resesi ketika PDB tumbuh negatif 2 kuartal beruntun secara YoY, sementara jika negatif 2 kuartal beruntun secara QtQ disebut sebagai resesi teknikal.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Rabu sore mengatakan masih ada kemungkinan perekonomian Indonesia di kuartal III-2020 tumbuh negatif.
Kontraksi yang cukup dalam di kuartal II memperbesar risiko terjadinya resesi. Menurut Sri Mulyani, sektor-sektor penopang perekonomian yang pada kuartal II ini ikut terkontraksi dalam akan sulit pulih dengan mudah. Oleh karenanya, jika upaya pemerintah tidak maksimal maka Indonesia bisa masuk ke jurang resesi.
"Memang probabilitas negatif (di kuartal III) masih ada karena penurunan sektor tidak bisa secara cepat pulih," ujarnya melalui konferensi pers virtual, Rabu (5/8/2020).
Jika di kuartal III nanti pertumbuhan ekonomi negatif lagi, maka Indonesia sah mengalami resesi.
Sri Mulyani juga menekankan pemerintah akan melakukan berbagai upaya dan kebijakan bersama dengan Bank Indonesia, serta Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan agar bisa mendorong perekonomian.
Kemungkinan terjadinya resesi di Indonesia memang cukup besar, sebab Kamis pekan lalu Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan kembali memperpanjang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi. selama 2 pekan hingga 13 Agustus mendatang.
PSSB transisi yang terus diperpanjang tersebut berisiko membuat pemulihan ekonomi Indonesia berjalan lebih lambat dan lama. Dengan perpanjangan tersebut artinya separuh kuartal III-2020 masih terjadi PSBB transisi, maka ada risiko pertumbuhan ekonomi minus, seperti yang diramal oleh Bank Dunia dalam laporan Indonesia Economic Prospects edisi Juli 2020, dengan judul The Long Road to Recovery.
Lembaga yang berkantor pusat di Washington DC (Amerika Serikat) itu memperkirakan ekonomi Indonesia tidak tumbuh alias 0%. Namun Bank Dunia punya skenario kedua, yaitu ekonomi Indonesia mengalami kontraksi -2% pada 2020 jika resesi global ternyata lebih dalam dan pembatasan sosial (social distancing) domestik lebih ketat.
"Ekonomi Indonesia bisa saja memasuki resesi jika pembatasan sosial berlanjut pada kuartal III-2020 dan kuartal IV-2020 dan/atau resesi ekonomi dunia lebih parah dari perkiraan sebelumnya," tulis laporan Bank Dunia.
TIM RISET CNBC INDONESIA