Mata Uang Asia Menguat, Rupiah Kok Loyo?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 August 2020 10:12
Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Namun rupiah tidak bisa meladeni keperkasaan dolar AS di perdagangan pasar spot.

Pada Selasa (4/8/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.697. Rupiah menguat 0,11% dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Di 'arena' pasar spot, rupiah malah. Dibuka stagnan di Rp 14.560/US$, rupiah melemah 0,27% ke Rp 14.600 pada pukul 10:00 WIB.

Sayang sekali, rupiah tidak bisa berada di jalur yang sama dengan mayoritas mata uang utama Asia lainnya yaitu menguat di hadapan dolar AS. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 10:07 WIB:

Dolar AS sedang dilanda kegalauan. Investor sepertinya menunggu kepastian stimulus fiskal terbaru, setelah yang lama habis masa berlakunya pada akhir pekan lalu. Kini, Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi para korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebesar US$ 600/pekan sudah tidak ada lagi.

Pekan lalu, kubu Partai Republik di House of Representatives (salah satu dari dua kamar parlemen di AS) mengajukan proposal stimulus senilai US$ 1 triliun. Namun hingga saat ini belum ada kata sepakat. Bahkan terjadi penolakan di internal Republik sendiri, karena total stimulus yang mencapai US$ 3 triliun dinilai sudah terlalu banyak.

"Bola berada di tangan Kongres. Kebijakan fiskal adalah fondasi penting untuk ekonomi yang lebih baik, pemulihan yang lebih kuat, menurunkan angka pengangguran, mengembalikan orang-orang ke tempat kerja, dan membuka kembali sekolah-sekolah. Tanpa bantuan pemerintah, permintaan akan bermasalah," tegas Charles Evans, Presiden Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) cabang Chicago, seperti dikutip dari Reuters.

Ya, kalau mau mendorong ekonomi AS kuncinya memang harus meningkatkan konsumsi rumah tangga. Sebab konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 70% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Itulah mengapa BLT menjadi sangat penting untuk menjaga ekonomi AS agar tidak terseret ke resesi yang lebih dalam.

AS memang sudah resmi masuk resesi. Pada kuartal II-2020, ekonomi AS mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) -32,9% setelah pada kuartal sebelumnya terkontraksi -4,8%. Kontraksi dalam dua kuartal beruntun disebut resesi.

Namun dengan belum jelasnya paket stimulus baru, harapan Negeri Adidaya untuk lepas dari nestapa menjadi samar-samar. Ini yang membuat investor ragu untuk mengoleksi dolar AS. 

Akan tetapi, rupiah belum bisa ikut menapaki jalur hijau. Kemungkinan investor sedang harap-harap cemas menantikan rilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada esok hari.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan nilai median perubahan PDB sebesar -4,53% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Kalau sampai terwujud, maka akan menjadi catatan terburuk sejak 2009. Kala itu, Indonesia sedang mencoba bangkit dari terpaan krisis keuangan Asia alias krisis moneter alias krismon. 

Oleh karena itu, investor lebih memilih wait and see. Lebih baik menunggu sampai ada kejelasan, baru kemudian menentukan sikap. 

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular