
143 IPO dalam 2,5 Tahun, Kualitasnya Oke atau Rawan Digoreng?

Jakarta, CNBC Indonesia - Apabila ada satu hal yang bisa dipuji dari kinerja Bursa Efek Indonesia (BEI) pada masa pandemi corona ini, tentu bukanlah performa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terkoreksi 18,7% secara tahun berjalan dan menjadi juara ketiga bursa terburuk di Asia.
Akan tetapi pujian ini bisa anda sematkan pada kemampuan BEI untuk tetap mengalang dana dari publik dengan mengadakan Initial Public Offering (IPO) di tengah ketidakpastian ekonomi akibat pandemi virus corona.
Jumlah IPO sampai hari ini mencapai 31 emiten, tentunya ini merupakan angka yang sangat 'wow' mengingat bursa Negara Singa hanya mampu melantaikan 6 emiten pada kurun waktu yang sama.
Urusan kuantitas 'lantai-melantai' memang BEI cukup oke. Pada tahun 2018, BEI berhasil mengalang dana untuk 57 perusahaan dan menjadi juara ke 9 bursa efek yang paling banyak melantaikan emiten. Tidak sampai di situ, tahun berikutnya BEI berhasil melantaikan 55 emiten dan naik peringkat menjadi ranking 7.
Bahkan apabila menilik negara-negara di ASEAN saja, BEI berhasil menjadi juara pertama bursa yang paling banyak melakukan penawaran umum perdana.
Pada tahun 2019 bahkan BEI berhasil melantaikan 55 perusahaan, dua kali lebih banyak daripada juara kedua yaitu bursa Thailand yang hanya mampu melakukan 27 IPO.
Meskipun menjadi juara secara kuantitas, bagaimanakah kualitas alias kinerja saham-saham yang di IPO kan oleh BEI sejak 2018 ?
Simak tabel berikut.
Well, dari 143 IPO yang dilakukan oleh BEI sejak 2018, terdapat 17 emiten yang harganya sudah menyentuh atau mendekati level Rp 50/unit alias saham gocap.
Dari ke 17 emiten tersebut 16 diantaranya adalah emiten yang melantai pada tahun 2018 dan 2019, artinya 14% IPO yang dilakukan pada kedua tahun tersebut sudah jatuh atau hampir jatuh ke level terendahnya.
Bahkan pada tahun 2019 BEI berhasil memecahkan rekor yang amat sangat menakjubkan yakni, rekor perusahaan IPO yang paling cepat menyentuh level gocap. Adalah PT Bhakti Agung Propertindo Tbk (BAPI) yang sahamnya mampu menyentuh level gocap hanya dalam waktu 14 hari perdagangan.
Untuk urusan kinerja harga, total 68 emiten atau 47% sudah jatuh ke bawah harga IPOnya, akan tetapi apabila hanya mempertimbangkan IPO pada tahun 2018 dan 2019 saja, maka ada 61 emiten yang sudah jatuh ke bawah harga penawaran umumnya, angka ini lebih dari setengah total penawaran umum atau lebih tepatnya sejumlah 54% dari total IPO pada kedua tahun tersebut.
Urusan indikasi 'goreng-mengoreng' saham IPO juga menjadi pemandangan yang bisa tampak di BEI, tercatat dari 143 emiten yang melantai di BEI rata-rata sahamnya melesat naik 493% ke level tertingginya atau hampir 5 kali lipat dari harga IPO.
Juara pada kategori ini adalah saham PT Transcoal Pacific Tbk (TCPI) yang harganya berhasil melesat 6.367%. Saham TCPI berhasil terbang lebih dari 63 kali lipat dari harga IPO sebesar Rp 138/unit ke level tertingginya di harga Rp 8.925/unit.
Tentunya setelah terjadi kenaikan tidak wajar sebesar ratusan persen, selanjutnya akan terjadi penurunan tidak wajar pula setelah market maker selesai mendistribusikan saham mereka di harga atas.
Untuk saham yang berhasil anjlok paling dalam dari titik tertingginya adalah PT Pool Advista Finance Tbk (POLA). Melakukan penawaran perdana di harga Rp 135/unit saham POLA berhasil melesat 1.530% ke level harga Rp 2.200/unit, saat ini saham POLA diperdagangkan di harga Rp 51/unit atau turun 98% dari level tertingginya.
Tercatat saham-saham yang melakukan penawaran perdana sejak 2018 rata-rata sahamnya sudah anjlok 58% dari titik tertingginya, sebagai perbandingan IHSG 'hanya' anjlok 28% dari titik tertingginya pada periode yang sama, penurunan ini sendiri karena IHSG terserang pandemi virus corona.
Dengan demikian, apabila mempertimbangkan tahun 2018-2019 saja, saham-saham yang IPO pada tahun tersebut rata-rata ambles 64% dari titik tertingginya, sedangkan IHSG pada periode ini 'hanya' terkoreksi 17% dari titik tertingginya.
Catatan, emiten yang melakukan penawaran saham perdana di BEI harga sahamnya rentan terjadi cornering, di mana pemegang mayoritas saham yang beredar dapat menggerakkan saham dengan mudah ke arah tertentu. Dalam kasus ini, naik hingga menyentuh level Auto Reject Atas (ARA) karena saham tersebut tidak tersebar merata ke publik dan dimiliki oleh segelintir pelaku pasar saja alias aksi goreng saham.
Sebenarnya BEI sudah berusaha memperbaiki hal ini dengan menciptakan metode E-Bookbuilding yang rencananya akan diimplementasikan pada Januari 2021, sehingga investor ritel tidak perlu mengantri secara langsung untuk memesan saham IPO di Biro Administrasi Efek (BAE) lagi, yang tentunya diharapkan akan meningkatkan jumlah pemesan saham IPO.
Akan tetapi besaran minimal penjatahan terpusat atau pooling tidak berubah yakni 2,5-15% sesuai dengan besar target dana IPO saham.
Catatan, biasanya investor ritel hanya dapat memesan saham IPO melalui penjatahan pooling saja sedangkan investor kakap yang biasanya akan membandari emiten tersebut bisa mendapatkan sahamnya melalui penjatahan pasti atau fixed allotment dan menguasai sampai dengan 97,5% saham yang beredar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!
