'Ternak' Dolar Sedang Buntung, Apa Dong yang Untung?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
22 July 2020 14:14
dollar
Foto: REUTERS/Dado Ruvic/Illustration

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) memang sedang cukup tinggi jika berhadapan dengan rupiah. Namun melawan mata uang lainnya, dolar ternyata sedang loyo, hal tersebut bisa menjadi indikasi ke depannya rupiah akan kembali menguat.

Lemahnya mata uang Paman Sam terlihat dari indeks dolar AS terhadap 6 mata uang utama lainnya. Kemarin indeks dolar AS merosot hingga menyentuh level 3,5 bulan di 95,117.

Penyebab merosotnya indeks dolar yakni stimulus fiskal yang digelontorkan Eropa senilai 750 miliar guna membangkitkan perekonomian yang merosot ke jurang resesi akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19). Kebijakan tersebut menimbulkan harapan akan kebangkitan ekonomi Benua Biru dan membuat kurs euro melesat naik.

Euro merupakan merupakan satu dari enam mata uang yang membentuk indeks dolar, bahkan kontribusinya paling besar yakni sebesar 57,6%. Sehingga ketika euro menguat tajam melawan dolar AS, indeks dolar akan merosot.

Indeks ini juga biasa dijadikan tolak ukur kekuatan dolar AS terhadap mata uang lainnya. Sehingga ketika indeks dolar merosot, rupiah berpeluang menguat.

Ketika dolar AS tertekan, tentunya 'beternak' mata uang ini menjadi tidak menguntungkan bahkan berpotensi merugi, apalagi jika membeli dolar AS di harga yang sedang tinggi.

Lantas mata uang apa yang lebih baik untuk 'diternak'?

Dolar Australia berpeluang menjadi mata uang yang 'berkembang biak'. Sebabnya adalah kinerja buruk Mata Uang Kanguru ini di bulan Maret lalu. Seperti diketahui, pada bulan Maret lalu rupiah mengalami aksi jual masif, melemah tajam melawan dolar AS, Singapura, dan mata uang lainnya. Dolar Singapura bahkan menyentuh level tertinggi sepanjang sejarah Rp 11.574,53/SG$

Tetapi, dolar Australia justru ambles melawan rupiah, menyentuh level terlemah sejak September 2011 Rp 8.479,24 pada pertengahan Maret lalu.

Amblesnya dolar Australia kala itu terjadi akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang memukul perekonomian dalam dan luar negeri. Dari luar, China yang merupakan mitra dagang utama Australia menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) akibatnya permintaan impor produk Negeri Kanguru merosot tajam.

Australia juga menerapkan kebijakan yang sama, perekonomian dalam negeri pun tidak bisa diandalkan. Akibatnya, bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) memangkas suku bunga hingga ke rekor terendah 0,25%, dan untuk pertama kalinya menerapkan kebijakan pembelian aset (quantitative easing/QE).

Tapi kini kondisi berbeda, China menunjukkan kebangkitan ekonomi, Australia berhasil meredam penyebaran virus corona, mata uangnya pun terus bergerak naik melawan rupiah.

Berdasarkan data Refinitiv, level tertinggi sepanjang masa dolar Australia Rp 11.422,4/AU$ yang dicapai pada 27 Juni 2014, sementara posisi dolar Australia hari ini, Rabu (22/7/2020) pukul 13:39 WIB di kisaran Rp 10.467/US$.

Artinya dengan kondisi saat ini, ada ruang bagi dolar Australia untuk kembali menguat, apalagi melihat mata uang lainnya seperti dolar Singapura, yen Jepang, dan mata uang lainnya yang mencetak rekor tertinggi sepanjang masa Maret lalu. Itu artinya dolar Australia tertinggal cukup jauh ketimbang mata uang lainnya, sehingga ada peluang dolar Australia terus menguat, tidak menutup kemungkinan mencetak rekor tertinggi sepanjang masa, melewati Rp 11.422.4/AU$.

Belum lagi melihat pernyataan Gubernur Bank Sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) Philip Lowe, yang tidak mempermasalahkan posisi nilai tukar dolar Australia.

Nilai tukar dolar Australia melawan dolar AS berada di atas 0,7/US$ dan berada di dekat level tertinggi 6 bulan. Gubernur Lowe saat berbicara kemarin mengatakan posisi nilai tukar dolar Australia sudah sesuai dengan fundamentalnya.

Dolar Australia menguat merespon pernyataan tersebut, bahkan masih tetap kuat meski Gubernur Lowe membuka peluang memangkas suku bunga menjadi 0,1%.

Nilai tukar dolar Australia dikatakan sesuai dengan fundamentalnya, artinya RBA tidak mengharapkan dolar Australia akan melemah untuk membantu perekonomian. Kala dolar Australia melemah, maka produk dari Negeri Kanguru akan lebih murah, sehingga ekspor berpotensi meningkat. Tetapi, sekali lagi RBA melihat nilai tukar dolar Australia saat ini sudah membantu pemulihan ekonomi, sehingga tak perlu lebih rendah lagi.

Ketika perekonomian Australia membaik, tentunya fundamental dolar Australia juga akan naik, dan nilainya juga berpeluang terkerek naik.

Dolar Australia menjadi pilihan investasi yang menarik, tentunya jika kondisi perekonomian global membaik. Jika yang terjadi sebaliknya, kondisi perekonomian global memburuk dan resesi terjadi di mana-mana, mata uang apa yang cocok jadi investasi?

Saat resesi melanda, aset-aset berisiko seperti bursa saham ada kemungkinan akan berguguran. Ketika resesi terjadi, aktivitas ekonomi akan menurun, konsumsi masyarakat juga berkurang, sehingga pendapatan maupun laba perusahaan akan tergerus. Sehingga, para investor akan lebih berhati-hati dan memilih bermain aman.

Saat itu terjadi, aset-aset aman (safe haven) yang akan menjadi incaran. Emas menjadi aset safe haven yang paling populer, tetapi ada juga mata uang yang dianggap aman.

Dolar AS, yang menyandang status safe haven tentunya akan kembali menguat. Sebagai mata uang yang paling banyak ditransaksikan di dunia, tentunya juga diterima di berbagai negara.

Tetapi selain dolar AS, ada 2 lagi mata uang yang lebih safe haven, yakni franc Swiss dan yen Jepang.

Sebelum tahun ini, resesi yang masih paling segar di ingatan kita tentunya saat krisis finansial global 2008.

Perekonomian Indonesia memang masih mampu tumbuh, tetapi tidak dengan perekonomian negara-negara barat, khususnya AS. Sang negara Adikuasa dengan nilai perekonomian terbesar di mengalami resesi setelah PDB mengalami kontraksi dalam 4 kuartal beruntun, mulai kuartal III-2008 hingga kuartal II-2009. Saat itu, kontraksi ekonomi paling tajam terjadi di kuartal IV-2008 sebesar -6,3%.

Berdasarkan data Refinitiv, sepanjang 2008 rupiah mengalami pelemahan 15,55% melawan dolar AS. Puncak terlemah rupiah yang dilihat dari level penutupan perdagangan di Rp 12.150/US$ atau melemah 29,39% year-to-date (YTD) yang dicapai pada 1 Desember 2008. Di akhir tahun itu, rupiah berada di level Rp 10.850/US$.

Sementara itu, berhadapan dengan franc Swiss, rupiah ambrol 22,69% sepanjang 2008, berakhir di level Rp 10.159,18/CHF. Titik terlemah rupiah di level Rp 10.382,26/CHF yang dicapai pada 29 Desember, saat itu rupiah melemah 25,38% YTD.

Jawara safe haven, yen Jepang menjadi sangat digdaya. Rupiah dibuat ambrol 42,08% di tahun 2008. Posisi akhir 2008 di Rp 119,76/JPY, bandingkan dengan posisi akhir 2007 di Rp 84,29/JPY.

Titik terlemah rupiah di Rp 128,56/JPY yang dicapai pada 1 Desember 2008, kala itu Mata Uang Garuda ambrol 52,52% YTD.

Mata uang yen Jepang dianggap sebagai salah satu aset safe haven karena status Jepang memiliki surplus current account yang besar sehingga memberikan jaminan stabilitas bagi mata uangnya.

Selain itu Negeri Matahari Terbit merupakan negara kreditor terbesar di dunia.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan Jepang yang dikutip Reuters, jumlah aset asing yang dimiliki pemerintah, swasta, dan individual Jepang mencapai US$ 3,4 triliun di akhir tahun 2019, naik 6,7% dari tahun 2018. Status negara kreditor tersebut mampu dipertahankan dalam 29 tahun berturut-turut.

Jumlah aset asing yang dimiliki oleh Jepang tersebut 1,2 kali lebih banyak dari Jerman yang merupakan negara kreditor terbesar kedua di dunia.

Saat terjadi kemerosotan ekonomi secara global seperti saat ini atau gejolak geopolitik, maka para investor asal Jepang akan merepatriasi dananya di luar negeri, sehingga arus modal kembali masuk ke Negeri Matahari Terbit tersebut, dan yen menjadi begitu perkasa.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular