Duh! Bagi-bagi Dividen Bikin Rupiah Dekati 15.000/US$

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
22 July 2020 11:13
[DALAM] 15.000
Foto: Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat cukup tajam di awal perdagangan Rabu (22/7/2020), tetapi sebelumnya dalam beberapa pekan terakhir rupiah mengalami tekanan, bahkan sempat mendekati lagi level Rp 15.000/US$.

Di pembukaan perdagangan hari ini, rupiah menguat 0,54% ke Rp 14.600/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv. Di awal pekan, rupiah sempat ambrol 1,44% ke Rp 14.830/US$ yang menjadi level terlemah 2 bulan, tepatnya sejak 19 Mei lalu.

Jika melihat lebih ke belakang, rupiah mengalami tekanan yang cukup besar di bulan ini. Sepanjang Juli hingga Senin lalu, rupiah melemah nyaris 4%. Bahkan jika dilihat level Rp 14.830/US$ yang disentuh, Mata Uang Garuda merosot 4,66%.

Salah satu penyebab pelemahan rupiah adalah mundurnya pembagian dividen perusahaan-perusahaan akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19). Seharusnya pembagian dividen tersebut dilakukan pada akhir kuartal II-2020, mundur menjadi bulan Juli.

Saat dividen dibagikan, khususnya ke investor asing, maka akan direpatriasi sehingga terjadi aliran modal keluar yang membuat rupiah tertekan. Rata-rata dividen yang direpatriasi setiap kuartalnya sebesar US$ 6 miliar atau sekitar Rp 84 triliun (kurs Rp 14.000).

Selain itu, isu resesi semakin memperburuk kinerja rupiah. Pada pekan lalu, Singapura resmi mengalami resesi yang membuat isu tersebut kembali mencuat. Indonesia juga tak lepas dari isu resesi, Pada Kamis (16/7/2020) Bank Dunia merilis laporan Indonesia Economic Prospects edisi Juli 2020. Laporan itu diberi judul The Long Road to Recovery.

Lembaga yang berkantor pusat di Washington DC (Amerika Serikat) itu memperkirakan ekonomi Indonesia tidak tumbuh alias 0%. Namun Bank Dunia punya skenario kedua, yaitu ekonomi Indonesia mengalami kontraksi -2% pada 2020 jika resesi global ternyata lebih dalam dan pembatasan sosial (social distancing) domestik lebih ketat.

"Ekonomi Indonesia bisa saja memasuki resesi jika pembatasan sosial berlanjut pada kuartal III-2020 dan kuartal IV-2020 dan/atau resesi ekonomi dunia lebih parah dari perkiraan sebelumnya," tulis laporan Bank Dunia

Di saat yang sama pada sore hari, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan memperpanjang pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi selama 14 hari, akibat penyebaran kasus penyakit virus corona yang masih cukup tinggi. PSSB transisi yang terus diperpanjang tersebut berisiko membuat pemulihan ekonomi Indonesia berjalan lebih lambat dan lama.

Juli merupakan awal kuartal III-2020, jika PSBB transisi terus berlanjut, artinya masih belum semua sektor ekonomi yang dibuka, maka ada risiko pertumbuhan ekonomi minus, seperti yang diramal oleh Bank Dunia.

Maklum saja, DKI Jakarta berkontribusi sebesar 29% terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional di tahun 2019.

Untuk kuartal II-2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memprediksi bisa sampai minus 5,08%.

"Kami sendiri sekarang memprediksikan triwulan II-2020 diproyeksikan antara minus 5,08% sampai 3,54% dengan poinnya di -4,3%," kata Sri Mulyani dalam paparan Laporan Semester I-2020 dan APBN Kita Juli 2020, Senin (20/7/2020).

Dalam kesempatan sebelumnya, Sri Mulyani sempat memberikan prediksi PDB kuartal III-2020 di kisaran -1% sampai 1,2%. Itu artinya memang ada risiko Indonesia mengalami resesi di kuartal III-2020 nanti.

Dalam 2 hari terakhir, rupiah akhirnya kembali menguat. Ke depannya rupiah akan bergerak lebih stabil dan ada peluang untuk kembali menguat setelah musim pembagian deviden berlalu. Apalagi, Bank Indonesia (BI) mengindikasikan tidak akan lagi menurunkan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate. 

Pada Kamis pekan lalu, BI hari ini memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4%. Dengan demikian, sepanjang tahun ini BI sudah memangkas suku bunga sebanyak 4 kali masing-masing 25 bps.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 15-16 Juli 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Youtube Resmi Bank Indonesia, Kamis (16/7/2020).

"Keputusan ini juga mendukung pemulihan ekonomi nasional dengan tetap menjaga terkendalinya inflasi dan stabilitas nilai tukar," kata Perry.

Sempat muncul ekspektasi di pasar jika BI akan kembali memangkas suku bunga, melihat rendahnya inflasi serta defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang membaik. Ketika suku bunga dipangkas, maka yield Surat Berharga Negara (SBN) berpeluang menurun, sehingga daya tarik investasi di dalam negeri menjadi meredup, aliran modal seret, dan rupiah kekurangan "bensin".

Tetapi, nyatanya BI memberikan indikasi tidak akan memangkas suku bunga lagi.

Gubernur Perry saat ditanya peluang suku bunga kembali diturunkan memberikan pernyataan berbeda. Pada RDG bulan lalu, Perry mengatakan masih memiliki ruang untuk memangkas suku bunga, tetapi kali ini ia menyebut tergantung dari data-data ekonomi.

"Bagaimana kebijakan suku bunga ke depan, akan kita lihat bagaimana pola pemulihan ekonomi dan dampaknya ke inflasi. Masa-masa pandemi Covid-19 kita harus sering cermati data terbaru untuk merespon suku bunga" kata perry.

Selain itu, Perry menekankan dalam kondisi saat ini pemulihan ekonomi lebih efektif melalui jalur kuantitas, yaitu bagaimana dari aspek likuditas dan pendaan, seperti quantitative easing yang sudah dilakukan BI.

Pernyataan tersebut memberikan gambaran BI mungkin tidak akan menurunkan suku bunga lagi di tahun ini. Rupiah pun punya peluang kembali melanjutkan penguatan.

Kini tinggal bagaimana mengendalikan penyebaran virus corona. Jika berhasil diredam, dan perekonomian perlahan kembali berputar, rupiah akan cenderung stabil di sisa tahun ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular