
Aksi "Buang Dolar" China Bisa Bikin Ekspor Indonesia Melesat?

Jakarta, CNBC Indonesia - Isu dedolarisasi atau "buang dolar" oleh raksasa ekonomi dunia, China, belakangan mulai menghangat lagi. Sebabnya, hubungan dengan Amerika Serikat (AS) yang kerap panas dingin. Pandemi penyakit virus corona (Covid-19) kini menjadi penyebab panasnya lagi hubungan kedua negara yang sempat mesra di awal tahun ini setelah menandatangani kesepakatan dagang fase I.
Dengan hubungan politik yang naik-turun tersebut, Pemerintah Tiongkok dikabarkan berusaha mengurangi ketergantungan dolar dan menaikkan pamor mata uang yuan.
Akibatnya, isu "buang dolar" kembali mencuat, dan China disebut berusaha menaikkan pamor yuan China sebagai mata uang internasional.
"Internasionalisasi yuan berubah dari sesuatu yang diinginkan menjadi hal yang sangat diperlukan bagi Beijing. China perlu mencari pengganti dolar di tengah ketidakpastian politik," kata Ding Shuang, kepala ekonom Standard Chartered untuk wilayah China dan Asia Utara, seperti diberitakan Bloomberg.
Pemerintah China hari ini melaporkan data produk domestic bruto (PDB) China periode April-Juni yang tumbuh 3,2% year-on-year (YoY. Pertumbuhan tersebut jauh lebih tinggi dari hasil polling Reuters menunjukkan PDB diperkirakan tumbuh 2,5% YoY.
Di saat yang sama, perekonomian China mulai bangkit dari keterpurukan. Sektor manufaktur China bahkan hanya sekali berkontraksi, di bulan Februari, setelahnya mencatat ekspansi dalam 4 bulan beruntun.
Pertumbuhan tersebut tentunya menandai kebangkitan ekonomi China, setelah berkontraksi alias minus 6,8% YoY di kuartal I-2020, menjadi yang terburuk sepanjang sejarah.
Kebangkitan ekonomi China pasca pandemi Covid-19 tersebut memicu penguatan nilai tukar yuan atau yang disebut juga renminbi.
Pada 27 Mei lalu, yuan menyentuh level 7,1681/US$ yang merupakan level terlemah sejak September 2019 kala menyentuh level 7,1786/US$.
Untuk diketahui, level di bulan September tahun lalu tersebut merupakan yang terlemah sejak Februari 2008, artinya depresiasi yuan di tahun ini hingga mendekati level terlemah dalam 12 tahun terakhir.
Tetapi setelah mencapai level tersebut, yuan perlahan terus menguat melawan dolar AS. Hingga penutupan perdagangan Rabu kemarin, renminbi sudah menguat 2,53% berada di level 6,9885/US$.
Nilai tukar yuan diprediksi masih akan terus menguat. Bank investasi ternama, Goldman Sachs, memprediksi kurs yuan China akan menguat tajam dalam 12 bulan ke depan. Prediksi tersebut diberikan melihat perekonomian Negeri Tiongkok yang mulai bangkit.
Zach Pandl, analis mata uang emerging market dari Goldman Sachs, memberikan proyeksi dalam 12 bulan ke depan, kurs yuan akan menyentuh level 6,7/US$.
Jika melihat ramalan Pandl, dibandingkan posisi penutupan kemarin maka dalam periode 1 tahun yuan akan menguat 4,13%.
Ketika yuan terus menguat, maka warga China akan lebih "kaya" barang-barang dari luar negeri akan menjadi lebih murah, sehingga ada kemungkinan akan terjadi peningkatan impor.
China merupakan pasar ekspor non-migas terbesar Indonesia. Dengan terus menguatnya yuan, akankah ekspor Indonesia ke China nantinya akan meningkat?
Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari-Juni 2020, nilai ekspor non-migas Indonesia ke China mencapai US$ 12,83 miliar. Nilai ekspor tersebut mengalami kenaikan nyaris 12% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Jika dilihat setiap bulannya, penurunan nilai ekspor hanya menurun di bulan Februari, sebesar US$ 1,87 miliar dari bulan Januari US$ 2,1 miliar. Setelahnya, nilai ekspor Indonesia ke China terus meningkat. Meski demikian, nilai ekspor di bulan Februari tersebut masih lebih tinggi ketimbang Februari tahun lalu sebesar US$ 1,54 miliar.
Kenaikan ekspor di semester I tahun ini menjadi kejutan di tengah pandemi Covid-19 yang membuat perekonomian global melambat. Data dari BPS tersebut menunjukkan dari 13 negara tujuan ekspor Indonesia, selain China, hanya ke Amerika Serikat, Australia, dan Italia yang mengalami peningkatan, sisanya minus.
Seperti disebutkan sebelumnya, nilai tukar yuan sempat melemah tajam hingga mendekati level terlemah dalam 12 tahun terakhir di bulan Mei.
Berdasarkan data Refinitiv, pada semester I-2020, rata-rata nilai tukar yuan sebesar 7,0314/US$. Sementara rata-rata nilai tukar yuan pada semester I-2019 sebesar 6,7845.
Artinya, nilai tukar yuan sebenarnya jauh lebih kuat pada semester I tahun lalu ketimbang tahun ini. Tetapi nilai ekspor Indonesia ke China justru lebih tinggi di tahun ini.
Sehingga bisa dikatakan nilai tukar yuan tidak terlalu mempengaruhi tingkat impor China dari Indonesia.
Apalagi, nilai tukar yuan sebenarnya dalam kontrol yang ketat oleh bank sentral China (People's Bank of China/PBoC). Setiap harinya PBoC akan menetapkan nilai tukar yuan terhadap dolar AS, dan membiarkannya bergerak melemah atau menguat hingga maksimal 2% dari nilai tengah.
PBoC bisa sewaktu-waktu melemahkan atau menguatkan nilai tukar mata uang. Contohnya pada bulan Agustus lalu ketika PBoC mendepresiasi nilai tukar yuan terhadap dolar AS ke level terlemah dalam lebih dari satu dekade.
Demand dari Negeri Tiongkok sepertinya lebih menentukan tingkat ekspor Indonesia. Dengan perekonomian China yang menunjukkan kebangkitan, ada peluang tingkat ekspor akan kembali meningkat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jurus Kamehameha China Lawan AS: Mulai 'Buang Dolar'!