
Mood Investor Lagi Baik, Harga CPO Naik tapi Tak Bisa Banyak

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak sawit mentah (CPO) menguat pada perdagangan hari ini, Selasa (30/6/2020), seiring dengan risk appetite investor yang memang sedang baik.
Data Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur China untuk bulan Juni tercatat mengalami ekspansi di angka 50,9. Angka ini jauh lebih baik dari bulan sebelumnya di 50,6 dan konsensus pasar di 50,4.
Membaiknya sektor manufaktur China membuat investor optimis bahwa ekonomi Negeri Panda berangsur pulih. Harga aset-aset berisiko seperti saham jadi menguat. Risk appetite yang membaik membawa berkah untuk komoditas CPO.
Harga CPO kontrak pengiriman September 2020 di Bursa Malaysia Derivatif (BMD) mengalami kenaikan 0,56% ke RM 2.354/ton.
Namun ada beberapa faktor yang membuat harga CPO tak bisa naik banyak. Pertama adalah harga minyak mentah yang terkoreksi. Koreksi harga minyak tak terlepas dari penurunan produksi industri Jepang.
CPO merupakan bahan baku pembuatan biodiesel yang menjadi bahan bakar substitusi minyak. Melemahnya harga minyak membuat penggunaan CPO untuk biodiesel menjadi kurang ekonomis dan menarik.
Faktor lain yang juga menghambat kenaikan signifikan harga CPO adalah ekspor Juni yang lebih rendah dari perkiraan. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Intertek Testing Services (ITS) ekspor minyak sawit Juni diperkirakan naik hanya 29%.
Padahal untuk periode 1-25 Juni ekspor melonjak hingga lebih dari 37% dibanding bulan lalu.
Kebijakan India yang kemungkinan akan meningkatkan bea masuk impor minyak sawit juga menjadi faktor lain yang menahan harga CPO untuk menguat lebih tinggi.
"Harga masih berada di rentang sempit dengan ekspor yang turun di bawah ekspektasi pasar" kata Paramalingam Supramaniam direktur Pelindung Bestari Sdn Bhd. "Ada juga rumor bahwa tarif masuk minyak sawit akan dinaikkan sebesar US$ 2 - US$ 25 oleh India" tambahnya.
Pasar kini juga tengah mencermati perkembangan terbarupandemi Covid-19. Jumlah orang yang terjangkit secara global telah mencapai lebih dari 10 juta orang. Korban meninggal dunia sudah berada di atas 500 ribu jiwa.
Lonjakan kasus tidak hanya terjadi di Amerika Serikat saja, tetapi juga belahan dunia lain. China yang juga melaporkan adanya peningkatan kasus akhirnya memilih untuk mengkarantina Beijing sebagai episentrum baru wabah.
Sementara itu di Inggris, Menteri Kesehatan Matt Hancock meminta Leicester untuk kembali dikarantina lantaran laju infeksi Covid-19 di wilayah tersebut merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan wilayah lain.
Hancock berkata sekolah dan beberapa toko yang dinilai kurang esensial harus ditutup dan warga dilarang untuk bepergian keluar maupun di dalam kota. "Kami tidak mengambil keputusan ini dengan mudah, tetapi kepentingan rakyat Leicester lah yang kami utamakan," kata Hancock.
Lonjakan kasus yang kembali terjadi akhir-akhir ini membuat WHO berkomentar. "Meski banyak negara sudah membuat kemajuan, secara global, pandemi terus merebak dengan pesat" kata Direktur Jendeal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam sebuah video konferensi.
"The worst is yet to come" begitu kata Tedhros. "Saya mohon maaf harus mengatakan hal tersebut, tetapi dengan kondisis seperti sekarang ini kita takut hal yang terburuk akan tejadi. Oleh sebab itu kita harus menyatukan tindakan untuk melawan virus berbahaya ini bersama-sama" ungkapnya.
Lonjakan kasus yang masif dikhawatirkan membuat lockdown besar-besaran kembali terjadi dan semakin merusak permintaan pasar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article India-Malaysia Mau Rujuk, Harga CPO Langsung Melesat
