Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) dalam sepekan terakhir dan menjadi yang terburuk di kawasan Benua Kuning.
Secara week on week (wow), di pasar spot rupiah terdepresiasi 0,71% di hadapan dolar greenback. Pada penutupan perdagangan kemarin US$ 1 dibanderol Rp 14.150. Jawara mata uang Asia pekan ini jatuh kepada rupee India yang menguat nyaris 1% terhadap dolar AS.
Berbagai sentimen buruk yang datang dari dalam dan luar negeri membuat kinerja mata uang Garuda terpuruk. Beberapa negara di dunia dalam sepekan terakhir melaporkan adanya peningkatan jumlah kasus baru infeksi Covid-19.
Sampai dengan hari ini Sabtu (27/6/2020) data kompilasi real time John Hopkins University CSSE menunjukkan sudah ada 9,78 juta orang di dunia yang terjangkit virus ganas yang awalnya merebak di Wuhan itu.
Di AS kasus baru bertambah 40 ribu dalam satu hari pada 25 Juni lalu dan ini menjadi angka pertambahan kasus yang tertinggi yang pernah tercatat sejak AS terjangkit wabah Covid-19.
Sementara itu di saat yang sama, India juga mencatatkan rekor pertambahan kasus hariannya dengan 17,3 ribu kasus dalam sehari.
Beralih ke dalam negeri, jumlah kasus di Indonesia telah mencapai angka 51.427 hingga kemarin. Kini Indonesia menjadi pemimpin klasemen negara dengan jumlah kasus infeksi Covid-19 terbanyak di Asia Tenggara dan telah menyalip Singapura.
Di Indonesia jumlah kasus per hari yang dilaporkan mengalami fluktuasi cenderung meningkat dengan laju rata-rata kasus per harinya sepekan terakhir mencapai angka 1.000 kasus/hari.
Tidak dapat diketahui dengan pasti kapan pandemi ini akan berakhir. Bagi negara-negara yang kurva epidemiologinya telah melengkung kebawah kini harus waspada akan risiko gelombang kedua wabah seiring dengan relaksasi lockdown dan pembukaan ekonomi yang dilakukan.
Melihat berbagai realita yang ada, lembaga keuangan global Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan output global April lalu sebesar 1,9 poin persentase (pp) menjadi minus 4,9% pada 2020.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi RI pun dipangkas 1,8 pp menjadi -0,3% dari sebelumnya masih tumbuh minimalis di angka 1,5%.
Tidak hanya IMF saja yang memproyeksi ekonomi RI bisa minus tahun ini, bank terbesar di ASEAN yakni DBS juga 'meramalkan' hal yang sama. Dalam laporan terbarunya DBS memperkirakan ekonomi RI tahun 2020 bisa minus 1%.
Sementara itu jika mengacu pada proyeksi Bank Dunia, ekonomi Tanah Air tidak akan mencatatkan pertumbuhan tahun ini. Berbeda dengan Bank Dunia, BI memandang ekonomi RI bisa tumbuh di 0,9% - 1,9% tahun ini.
Berbeda lagi dengan proyeksi Menteri Keuangan yang memperkirakan ekonomi Indonesia pada 2020 berpotensi mengalami kontraksi minus 0,14% pada skenario terburuk dan tumbuh 1% jika melihat skenario terbaiknya.
Lembaga | Proyeksi 2020 |
World Bank | 0 |
IMF | -0.3 |
DBS | -1 |
Bank Indonesia | 0.9-1.9 |
Kementerian Keuangan | -0.14 - 1 |
Sumber : CNBC Indonesia
Jelas dua faktor ini menjadi sentimen yang kurang mengenakkan untuk mata uang Indonesia. Sejak awal pekan ini, rupiah memang cenderung mengalami depresiasi.
Rupiah tampil garang sejak awal April hingga awal Juni lalu, mencatat penguatan lebih dari 15% dan menyentuh level terkuat tiga setengah bulan Rp 13.850/US$ pada 8 Juni lalu. Tetapi sejak saat itu, rupiah melempem, perlahan mengalami pelemahan dan kembali mendekati level Rp 14.200/US$.
Pelemahan rupiah tersebut sejalan dengan hasil survei 2 mingguan Reuters yang menunjukkan investor mulai "membuang" rupiah. Survei tersebut menunjukkan para pelaku pasar mulai mengurangi posisi beli (long) rupiah dalam 2 pekan terakhir.
Survei yang dilakukan Reuters tersebut konsisten dengan pergerakan di tahun ini. Pada bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi jual (short) rupiah.
Memasuki bulan April, rupiah perlahan menguat dan hasil survei Reuters menunjukkan posisi short rupiah semakin berkurang, hingga akhirnya investor mengambil posisi long mulai pada 28 Mei lalu. Alhasil rupiah membukukan penguatan lebih dari 15% sejak awal April hingga awal Juni.
Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.
Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (15/6/2020) kemarin menunjukkan angka -0,05, memburuk dari rilis dua pekan sebelumnya -0,69. Angka -0,69 tersebut juga merupakan yang terendah sejak rilis survei 23 Januari lalu.
Ketika itu rupiah menjadi juara dunia alias mata uang dengan penguatan terbesar. Saat itu bahkan tidak banyak mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS. Hal tersebut juga sesuai dengan survei Reuters pada 23 Januari dengan hasil -0,86, yang artinya pelaku pasar beli rupiah.
Rupiah yang memang perkasa membuat investor mulai melirik untuk mengambil untung (profit taking). Meski kini banyak yang mengambil posisi short, BI masih pede bahwa rupiah masih berada di bawah nilai fundamentalnya (undervalued).
Faktor yang membuat rupiah mengalami depresiasi yang tajam adalah aliran dana keluar (outflow) besar-besaran yang terjadi saat wabah corona merebak. Namun seiring dengan sentimen di pasar keuangan yang membaik akibat stimulus moneter yang digelontorkan bank sentral global, rupiah berbalik arah dan menguat.
Penguatan rupiah dinilai BI mengikuti fundamentalnya. Selain membaiknya sentimen global yang membuat inflow kembali ke negara berkembang, ada beberapa faktor lain yang membuat rupiah perkasa.
Penurunan permintaan valas oleh non-residen serta kebutuhan valas oleh Pertamina dan PLN membuat pasar valas domestik mencatatkan net supply. Selain itu, inflasi yang rendah juga turut mendongkrak apresiasi rupiah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi secara month on month 0,07% pada bulan Mei dan 0,08% di bulan April. Sementara itu secara year on year inflasi Mei tercatat mencapai 2,19%. Tingkat inflasi ini masih berada di kisaran target BI.
Defisit transaksi berjalan juga diperkirakan rendah tahun ini. BI memproyeksi defisit transaksi berjalan (CAD) berada di kisaran 1,5% PDB, jauh dari perkiraan semula di 2,5% - 3% PDB.
Imbal hasil aset keuangan Tanah Air yang menarik juga turut mengundang investor untuk memarkirkan uangnya ke Indonesia. Yield surat utang pemerintah RI tenor 10 tahun masih memberikan imbal hasil di kisaran 7%.
Kecemasan global yang menurun, inflasi yang jinak, penurunan defisit transaksi berjalan, imbal hasil aset keuangan RI yang menarik serta disokong dengan penurunan premi risiko membuat rupiah masih dinilai undervalued.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan nilai tukar rupiah pada 2021 diperkirakan menguat seiring dengan berbagai faktor positif yang terjadi, termasuk aliran modal asing yang masuk ke pasar keuangan domestik.
"Kami melihat juga berlanjutnya penguatan rupiah dengan tingginya imbal hasil aset keuangan domestik, membaik kepercayaan investor dan menurunnya ketidakpastian pasar keuangan global," jelas Perry dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (22/6/2020).
"Rata-rata nilai tukar rupiah pada 2020 pada kisaran Rp 14.000 sampai Rp 14.600 per dolar AS dan akan menguat di 2021 pada kisaran Rp 13.700-14.300 per dolar AS," kata Perry melanjutkan.