Rupiah Terburuk di Asia, 'Sempat Disayang Sekarang Dibuang'

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
27 June 2020 12:19
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Rupiah tampil garang sejak awal April hingga awal Juni lalu, mencatat penguatan lebih dari 15% dan menyentuh level terkuat tiga setengah bulan Rp 13.850/US$ pada 8 Juni lalu. Tetapi sejak saat itu, rupiah melempem, perlahan mengalami pelemahan dan kembali mendekati level Rp 14.200/US$.

Pelemahan rupiah tersebut sejalan dengan hasil survei 2 mingguan Reuters yang menunjukkan investor mulai "membuang" rupiah. Survei tersebut menunjukkan para pelaku pasar mulai mengurangi posisi beli (long) rupiah dalam 2 pekan terakhir.

Survei yang dilakukan Reuters tersebut konsisten dengan pergerakan di tahun ini. Pada bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi jual (short) rupiah.

Memasuki bulan April, rupiah perlahan menguat dan hasil survei Reuters menunjukkan posisi short rupiah semakin berkurang, hingga akhirnya investor mengambil posisi long mulai pada 28 Mei lalu. Alhasil rupiah membukukan penguatan lebih dari 15% sejak awal April hingga awal Juni.

Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.

Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (15/6/2020) kemarin menunjukkan angka -0,05, memburuk dari rilis dua pekan sebelumnya -0,69. Angka -0,69 tersebut juga merupakan yang terendah sejak rilis survei 23 Januari lalu.

Ketika itu rupiah menjadi juara dunia alias mata uang dengan penguatan terbesar. Saat itu bahkan tidak banyak mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS. Hal tersebut juga sesuai dengan survei Reuters pada 23 Januari dengan hasil -0,86, yang artinya pelaku pasar beli rupiah.

Rupiah yang memang perkasa membuat investor mulai melirik untuk mengambil untung (profit taking). Meski kini banyak yang mengambil posisi short, BI masih pede bahwa rupiah masih berada di bawah nilai fundamentalnya (undervalued).

Faktor yang membuat rupiah mengalami depresiasi yang tajam adalah aliran dana keluar (outflow) besar-besaran yang terjadi saat wabah corona merebak. Namun seiring dengan sentimen di pasar keuangan yang membaik akibat stimulus moneter yang digelontorkan bank sentral global, rupiah berbalik arah dan menguat.

Penguatan rupiah dinilai BI mengikuti fundamentalnya. Selain membaiknya sentimen global yang membuat inflow kembali ke negara berkembang, ada beberapa faktor lain yang membuat rupiah perkasa.

Penurunan permintaan valas oleh non-residen serta kebutuhan valas oleh Pertamina dan PLN membuat pasar valas domestik mencatatkan net supply. Selain itu, inflasi yang rendah juga turut mendongkrak apresiasi rupiah.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi secara month on month 0,07% pada bulan Mei dan 0,08% di bulan April. Sementara itu secara year on year inflasi Mei tercatat mencapai 2,19%. Tingkat inflasi ini masih berada di kisaran target BI.

Defisit transaksi berjalan juga diperkirakan rendah tahun ini. BI memproyeksi defisit transaksi berjalan (CAD) berada di kisaran 1,5% PDB, jauh dari perkiraan semula di 2,5% - 3% PDB.

Imbal hasil aset keuangan Tanah Air yang menarik juga turut mengundang investor untuk memarkirkan uangnya ke Indonesia. Yield surat utang pemerintah RI tenor 10 tahun masih memberikan imbal hasil di kisaran 7%.

Kecemasan global yang menurun, inflasi yang jinak, penurunan defisit transaksi berjalan, imbal hasil aset keuangan RI yang menarik serta disokong dengan penurunan premi risiko membuat rupiah masih dinilai undervalued.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan nilai tukar rupiah pada 2021 diperkirakan menguat seiring dengan berbagai faktor positif yang terjadi, termasuk aliran modal asing yang masuk ke pasar keuangan domestik.

"Kami melihat juga berlanjutnya penguatan rupiah dengan tingginya imbal hasil aset keuangan domestik, membaik kepercayaan investor dan menurunnya ketidakpastian pasar keuangan global," jelas Perry dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (22/6/2020).

"Rata-rata nilai tukar rupiah pada 2020 pada kisaran Rp 14.000 sampai Rp 14.600 per dolar AS dan akan menguat di 2021 pada kisaran Rp 13.700-14.300 per dolar AS," kata Perry melanjutkan.

(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular