
BI Pede Rupiah Masih Kemurahan, Bisa ke Bawah Rp 14.000/US$

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) memandang penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi sejak awal April merupakan hal yang wajar. Bahkan dengan penguatan yang ada BI menilai rupiah masih tergolong undervalued.
Sejak ditutup dengan depresiasi yang tajam di hadapan dolar AS pada 23 Maret 2020 lalu di Rp 16.550/US$, nilai tukar rupiah terus menguat dan mencapai level terkuatnya di Rp 13.840/US$ pada 9 Juni lalu.
Kemarin nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup di Rp 14.110/US$. Dengan begitu rupiah telah menguat 16,4% di hadapan dolar greenback sejak 23 Maret.
Faktor yang membuat rupiah mengalami depresiasi yang tajam adalah aliran dana keluar (outflow) besar-besaran yang terjadi saat wabah corona merebak. Namun seiring dengan sentimen di pasar keuangan yang membaik akibat stimulus moneter yang digelontorkan bank sentral global, rupiah berbalik arah dan menguat.
Penguatan rupiah dinilai BI mengikuti fundamentalnya. Selain membaiknya sentimen global yang membuat inflow kembali ke negara berkembang, ada beberapa faktor lain yang membuat rupiah perkasa.
Penurunan permintaan valas oleh non-residen serta kebutuhan valas oleh Pertamina dan PLN membuat pasar valas domestik mencatatkan net supply. Selain itu, inflasi yang rendah juga turut mendongkrak apresiasi rupiah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi secara month on month 0,07% pada bulan Mei dan 0,08% di bulan April. Sementara itu secara year on year inflasi Mei tercatat mencapai 2,19%. Tingkat inflasi ini masih berada di kisaran target BI.
Defisit transaksi berjalan juga diperkirakan rendah tahun ini. BI memproyeksi defisit transaksi berjalan (CAD) berada di kisaran 1,5% PDB, jauh dari perkiraan semula di 2,5% - 3% PDB.
Imbal hasil aset keuangan Tanah Air yang menarik juga turut mengundang investor untuk memarkirkan uangnya ke Indonesia. Yield surat utang pemerintah RI tenor 10 tahun masih memberikan imbal hasil di kisaran 7%.
Kecemasan global yang menurun, inflasi yang jinak, penurunan defisit transaksi berjalan, imbal hasil aset keuangan RI yang menarik serta disokong dengan penurunan premi risiko membuat rupiah masih dinilai undervalued.