Tanpa Perlawanan, Rupiah Digebuk Hingga ke Atas Rp 14.100/US$

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
22 June 2020 15:35
Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (22/6/2020). Memburuknya sentimen pelaku pasar memicu aksi ambil untung yang membuat rupiah terpukul.

Rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.050/US$, tetapi tidak lama langsung masuk ke zona merah. Depresiasi mata uang Garuda berlanjut dan tidak sekalipun mampu masuk ke zona hijau. Rupiah tanpa perlawanan, dan akhirnya mengakhiri perdagangan di level Rp 14.110/US$, melemah 0,43% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Dengan pelemahan tersebut, rupiah menjadi mata uang terburuk di Asia pada perdagangan hari ini.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 15:14 WIB.

Sentimen pelaku pasar memburuk setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan pandemi penyakit virus corona (Covid-19) kini berada dalam "fase baru dan berbahaya".

"Pandemi semakin cepat. Lebih dari 150 ribu kasus baru Covid-19 dilaporkan ke WHO kemarin - jumlah paling banyak dalam satu hari sejauh ini," sebut Tedros dalam konferensi pers virtual pada Jumat (19/6) waktu setempat.

Menurutnya hampir separuh dari kasus baru yang dilaporkan ke WHO itu berasal dari kawasan Amerika, dengan sejumlah besar juga dilaporkan dari Asia Selatan dan Timur Tengah.

Gelombang kedua Covid-19 kini memang sedang mengintai. China, negara asal virus corona dan sebelumnya sudah sukses meredam penyebarannya kini kembali menghadapi peningkatan kasus.

Tetapi episenter penyebaran Covid-19 kini berada di ibu kota Beijing. Setelah 50 hari tanpa transmisi lokal Covid-19 alias nol kasus, Beijing akhirnya melaporkan kasus pertama pada Jumat (12/6/2020). Komisi Kesehatan Nasional China hari ini melaporkan ada 18 kasus Covid-19 baru, 9 di antaranya ada di Beijing.

Sehingga jika di total jumlah kasus di Beijing saat ini sebanyak 236 orang.

Kluster Covid-19 di Beijing berada di pasar Xinfadi, yang merupakan pasar tradisional terbesar di Beijing. Sehingga risiko semakin banyak orang yang terjangkit cukup tinggi. Pasar Xinfadi tersebut juga jauh lebih besar dari pasar di kota Wuhan yang menjadi awal munculnya virus corona hingga menjadi pandemi.

Amerika Serikat (AS) juga melaporkan rekor penambahan kasus per hari di beberapa Negara Bagian. Kemudian dari Australia, Negara Bagian Victoria kembali mengetatkan kebijakan social distancing setelah terjadi peningkatan kasus.

Dari Eropa, Jerman tingkat reproduksi (Rt) Covid-19 pada hari Minggu naik menjadi 2,88 dari sebelumnya 1,79. Artinya 1 orang yang terinfeksi Covid-19 dapat menularkan ke 2,88 orang, atau dari 100 orang dapat menularkan ke 288 orang.

Penambahan kasus Covid-19 tersebut terjadi setelah kebijakan lockdown di longgarkan, sehingga pelaku pasar menjadi berhati-hati mengingat hampir semua negara kini melonggarkan kebijakan lockdown.

Kehati-hatian pelaku pasar, ditambah dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada pekan lalu memicu aksi ambil untung (profit taking) terhadap rupiah, sehingga nilainya makin melemah.

Nilai tukar rupiah memang sedang perkasa jika dilihat sejak awal April hingga awal Juni sudah melesat lebih dari 15%. Penguatan tersebut tentunya menggiurkan bagi pelaku pasar untuk mencairkan cuan.

Pada Kamis (17/6/2020) pekan lalu, dalam pidato tanggapan pemerintah atas kerangka makro APBN 2021, Sri Mulyani menyampaikan pihaknya juga tidak mau rupiah terlalu kuat. Indonesia masih butuh ekspor yang berdaya saing dengan nilai tukar yang terjaga.

"Namun perlu kita sadari bersama bahwa pada saat ini posisi nilai tukar yang terlalu kuat juga dapat memukul kinerja ekspor nasional dan berakibat buruk bagi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan."

"Nilai tukar rupiah yang terlalu kuat dapat melumpuhkan daya saing produk kita dan menyebabkan penurunan ekspor serta peningkatan impor produk yang menjadi lebih murah. Untuk itu, Pemerintah bersama Bank Indonesia, akan terus mengelola nilai tukar secara berhati-hati untuk tetap menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi ke depan," tegas Sri Mulyani.

Dalam hal ini, Sri Mulyani menegaskan yang menjadi fokus perhatian bersama adalah bukan pada tingkat nilai tukar tertentu, tetapi menjaga stabilitas pergerakan nilai tukar agar tidak menimbulkan gejolak pada aktivitas ekonomi dan sektor riil dalam negeri.

Nilai tukar rupiah sepanjang 2020 diproyeksikan berada di Rp 14.500 - 15.500/US$.

Pernyataan Sri Mulyani tersebutr tentunya memberikan efek psikologis di pasar, yang membuat rupiah akhirnya diterpa aksi ambil untung.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular