
Waduh, Masih Awal Pekan Rupiah Sudah Terlemah di Asia!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah BI. Namun rupiah lemas di perdagangan pasar spot.
Pada Senin (22/6/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.209. Rupiah menguat 0,23% dibandingkan posisi akhir pekan lalu.
Akan tetapi di pasar spot, rupiah kesulitan meladeni dolar AS. Dibuka stagnan, rupiah melemah 0,21% ke Rp 14.080/US$ pada pukul 10:00 WIB.
Namun bukan cuma rupiah yang melemah. Sebagian besar mata uang utama Asia juga terperosok ke jalur merah. Hanya Dolar Taiwan, rupee India, dolar Singapura, dan baht Thailand yang masih bisa menguat.
Seperti halnya rupiah, depresiasi mata uang Benua Kuning pun tidak terlampau dalam. Oleh karena itu, pelemahan 0,21% sudah cukup untuk membawa rupiah sebagai yang terlemah di Asia.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia di perdagangan pasar spot pada pukul 10:08 WIB:
Mengapa rupiah akhir-akhir ini sepertinya mudah sekali menjadi mata uang terlemah di Asia? Itu karena rupiah memang sebelumnya menguat gila-gilaan.
Meski dalam dua pekan terakhir rupiah melemah 1,66% di hadapan dolar AS, tetapi selama sebulan ke belakang rupiah masih mencatatkan penguatan 4,09%. Sejak awal kuartal II-2020 (quarter-to-date/QtD), bahkan rupiah masih punya 'tabungan' penguatan 13,62%.
Jadi, sangat wajar rupiah terpapar aksi ambil untung (profit taking). Potensi cuan investor yang didapat investor dari rupiah sudah begitu tinggi. Rupiah pun rentan terkena aksi jual sehingga mudah melemah.
Apalagi sentimen yang beredar di pasar sedang negatif. Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah pasien positif virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) di seluruh dunia per 21 Juni adalah 8.708.008 orang. Bertambah 183.020 (2,15%) orang dibandingkan hari sebelumnya.
Tambahan 183.020 dalam sehari kasus menjadi rekor tertinggi sejak WHO mendokumentasikan kasus corona pada 21 Januari. Sementara pertumbuhan 2,15% menjadi laju paling cepat sejak 18 Juni.
Perkembangan ini membuat pelaku pasar semakin cemas akan risiko gelombang serangan kedua (second wave outbreak) virus corona. "Pasar valas masih akan terjepit di antara data ekonomi yang membaik dan kekhawatiran akan second wave outbreak," sebut riset Barclays.
Persepsi semacam ini yang kemungkinan pelaku pasar bakal bersikap wait and see. Lebih baik menunggu terlebih dulu sampai ada kejelasan lebih lanjut, jangan melakukan apa-apa sampai ada kepastian.
Akibatnya, arus modal enggan mampir ke pasar keuangan negara-negara berkembang di Asia. Rupiah pun kembali ke jalur merah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
