
Rupiah Memang Lesu Lawan Dolar, tapi Libas Mata Uang Eropa

Rupiah sebenarnya mendapat tenaga untuk menguat di pekan ini setelah Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuannya.
Gubernur BI, Perry Warjiyo pada hari Kamis mengumumkan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 4,25% atau turun 25 basis poin (bps) dari sebelumnya.
Perry bersama dengan Dewan Gubernur lainnya memandang kebijakan untuk menurunkan bunga acuan 25 bps tersebut sejalan dan konsisten dengan upaya menjaga stabilitas perekonomian di era Covid-19 ini.
"Rapat Dewan Gubernur BI pada 17-18 Juni 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,25%. Keputusan ini konsisten dengan upaya menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi pada era Covid-19," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam keterangan pers usai RDG BI edisi Juni 2020, Kamis (18/6/2020).
Tidak hanya itu, BI juga membuka peluang untuk kembali menurunkan suku bunga ke depannya. Ini karena tekanan inflasi domestik yang rendah, tekanan eksternal yang mereda, dan kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.
Dengan diturunkannya suku bunga tentunya berdampak bagus bagi perekonomian Indonesia yang sedang merosot. Penurunan suku bunga BI diharapkan akan turut menurunkan suku bunga kredit.
Suku bunga kredit yang lebih rendah tentunya akan menarik bagi dunia usaha maupun rumah tangga untuk mengambil pinjaman, sehingga roda perekonomian kembali berputar. Rupiah pun mendapat tenaga untuk kembali menguat.
Tetapi sayangnya penguatan rupiah diredam oleh pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dalam pidato tanggapan pemerintah atas kerangka makro APBN 2021 Kamis lalu, Sri Mulyani menyampaikan pihaknya tidak mau rupiah terlalu kuat. Indonesia masih butuh ekspor yang berdaya saing dengan nilai tukar yang terjaga.
"Namun perlu kita sadari bersama bahwa pada saat ini posisi nilai tukar yang terlalu kuat juga dapat memukul kinerja ekspor nasional dan berakibat buruk bagi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan."
"Nilai tukar rupiah yang terlalu kuat dapat melumpuhkan daya saing produk kita dan menyebabkan penurunan ekspor serta peningkatan impor produk yang menjadi lebih murah. Untuk itu, Pemerintah bersama Bank Indonesia, akan terus mengelola nilai tukar secara berhati-hati untuk tetap menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi ke depan," tegas Sri Mulyani.
Dalam hal ini, Sri Mulyani menegaskan yang menjadi fokus perhatian bersama adalah bukan pada tingkat nilai tukar tertentu, tetapi menjaga stabilitas pergerakan nilai tukar agar tidak menimbulkan gejolak pada aktivitas ekonomi dan sektor riil dalam negeri.
Nilai tukar rupiah sepanjang 2020 diproyeksikan berada di Rp 14.500 - 15.500/US$. Sementara di tahun 2021 di Rp 14.900 - 15.300/US$.
Pernyataan Sri Mulyani tersebut tentunya memberikan efek psikologis di pasar, yang membuat rupiah kesulitan melanjutkan penguatan melawan dolar AS.
