Sempat Hijau, IHSG Akhiri Sesi I di Jalur Merah

Tri Putra, CNBC Indonesia
11 June 2020 11:50
Masih Dihantui Virus Corona, IHSG Merah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan sesi pertama Kamis (11/6/20) sempat berbalik arahAksi profit taking para investor di Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pagi hari berhasil dimentahkan oleh optimisme para pelaku pasar akan dibukanya kembali perekonomian Indonesia.

Setelah pagi tadi sempat anjlok 2,19% ke level terendahnya, pada 10:15 WIB IHSG terpantau sudah berada di zona hijau dengan kenaikan 0,04% di level 4.922,34. Akan tetapi pada penutupan sesi pertama siang ini IHSG terpantau masih berada di zona merah dengan penurunan 0,51% di 4.895,69.

Mayoritas bursa Asia hari ini terpantau merah, Hang Seng Index di Bursa Hong Kong turun sebesar 1,03%, Nikkei di Jepang terdepresiasi sebesar 2,36%, sedangkan STI Singapura juga anjlok 2,49%.

Dari Bursa saham kiblat dunia, Amerika Serikat (AS) juga anjlok pada perdagangan Rabu (10/6/2020), setelah investor melanjutkan aksi realisasi keuntungan (profit takingIndeks Dow Jones anjlok 1,04% atau turun 282,31 poin ke level 26.989,99. Selanjutnya S&P 500 yang juga ikut terdepresiasi 0,53% atau 17,04 poin ke 3.190,14 sementara Nasdaq berhasil menanjak sebesar 0,67% atau terbang 66,60 poin ke level 10.020,35. 

Nasib Indeks Dow Jones dan Nasdaq bak bumi dan langit. Dow Jones terpaksa terlempar dari angka psikologisnya 27.000, sementara Nasdaq berhasil membukukan rekor penutupan tertinggi sepanjang masa (all time high) menembus angka 10.000.

Sementara pabrikan minyak Chevron harus terkoreksi 3,9%, bahkan di sektor yang sama Exxon harus terkoreksi 5,4%. Sektor ini terdampak setelah harga minyak amblas, dan munculnya data stok minyak mentah AS yang naik 5,7 juta barel pada 5 Juni sedangkan konsensus hanya memprediksi kenaikan sebesar 1,7 juta barel.

Hal ini menyebabkan harga kontrak berjangka minyak mentah WTI ambles 2,24% setelah rilis data tersebut. Bahkan EIA telah memberi sinyal bahwa harga akan terus turun. Tercatat harga minya mentah WTI kontrak berjangka Juni diperdagangkan dengan harga sekitar US$ 38 per barel.

Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) The Fed juga turut menjadi penggerak pasar Wall Street kemarin. Maklum rapat ini tidak hanya ditunggu oleh pelaku pasar Paman Sam tapi pelaku pasar di seluruh dunia.

Sesuai konsensus The Fed tidak menaikan atau menurunkan suku bunga, sehingga tetapi di angka 0% ke 0,25%.

"Kita tidak berpikir untuk menaikkan suku bunga, bahkan kita tidak berpikir untuk berpikir untuk menaikkan suku bunga, yang kita pikirkan itu bagaimana kita akan menyokong perekonomian, akan tetapi kita pikir hal ini akan memerlukan waktu," ujar Gubernur The Fed Jerome Powell.

Rendahnya suku bunga ini akan berlanjut, menurut The Fed suku bunga ini akan dijaga sampai pada tahun 2022. Sementara itu outlook suku bunga untuk tahun 2020, 2021, dan 2022 turun 0,1% dari proyeksi bulan Desember.

"Komite akan mempertahankan target ini sampai kita benar-benar percaya bahwa ekonomi sudah tidak terdampak masalah (virus corona) ini lagi dan sudah menuju tingkat tenaga kerja yang maksimum dan stabilitas harga," ujar The Fed.

Keputusan ini datang setelah bank sentral ini terus melanjutkan program peminjaman dananya untuk menyokong perekonomian yang sudah resmi masuk ke fase resesi sejak Februari lalu.

Data tenaga kerja pada pada Mei yang kemarin berhasil membuat investor berharap akan terjadinya perbaikan ekonomi yang cepat ternyata berbeda dengan tanggapan The Fed yang memotong proyeksi pertumbuhan AS untuk tahun-tahun kedepan setelah ketidakpastian global akibat pandemi ini.

Produk Domestik Bruto (GDP) AS diprediksi akan terkontraksi sebesar 6,5% di tahun 2020, jauh dari target sebelumnya yaitu 2%. Akan tetapi The Fed berekspektasi bahwa ekonomi tahun depan akan berekspansi 5% dan di tahun 2022 akan tumbuh 3,5%, naik tinggi dari prediksi sebelumnya yaitu 1,8 di tahun 2021 dan 1,9 di tahun 2022.

Tingkat pengangguran tahun ini di prediksi akan berada di level 9,3% naik dari prediksi sebelumnya 3,5%. Tetapi akan turun ke level 5,5% di tahun 2022.

Inflasi yang menjadi penggerak kebijakan moneter untuk ke depan diprediksi akan turun ke level 0,8%. Angka ini turun dari proyeksi sebelumnya di angka 1,9%.

Total stimulus yang disuntikkan The Fed juga menyebabkan total neraca The Fed naik menjadi US$ 7 triliun naik dari US$ 4 triliun sebelum diserang pandemi Covid-19 Maret lalu. Akan tetapi The Fed tidak berencana untuk mengurangi kebijakan pelonggaran kuantitatifnya (QE), dengan berjanji untuk tetap menjaga kecepatan pembelian obligasi dalam bulan-bulan ke depan untuk menyokong aliran kredit ke rumah tangga dan bisnis.

Sementara itu sentimen negatif datang dari Benua Biru melalui peringatan The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) bahwa pandemi corona akan mengakibatkan resesi terburuk dalam 100 tahun terakhir, dan pandemi corona jilid 2 akan mengakibatkan ekonomi dunia terkontraksi sebesar 7,6% di tahun 2020

Dari dalam negeri, rilis data Juru Bicara Pemerintah Khusus untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto pada Rabu lalu (10/6/20) menunjukkan bahwa terjadinya penambahan harian kasus positif virus nCov-19 yang kembali memecahkan rekor baru yaitu 1.241 orang positif dalam sehari dengan total 34.316 pasien positif.

Kenaikan ini sangat mengkhawatirkan mengingat akan dibukanya pusat perbelanjaan alias mal pekan depan yang akan menarik kerumunan masyarakat.

Rilis data ini tentunya akan mendatangkan ketakutan bagi para pelaku pasar akan munculnya gelombang kedua virus Covid-19. Apalagi banyak yang berpendapat bahwa gelombang pertama virus corona saja belum berhasil dilewati.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(trp/trp) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular