
Waduh Profit Taking Lanjut, Asing Kabur! IHSG Ambles 2%

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan sesi pertama Kamis (11/6/20) dibuka terkapar di zona merah.
Data perdagangan mencatat, IHSG drop 1,02% ke level 4.870,56. Selang 5 menit kemudian IHSG lanjut turun 2,06% ke level 4,819,25. Penurunan ini dikarenakan kelanjutan aksi profit taking atau aksi ambil keuntungan para investor setelah IHSG reli panjang selama 2 pekan kemarin.
Investor asing kembali mencatatkan aksi jual bersih sebanyak Rp 29 miliar di pasar reguler hari ini. Saham yang paling banyak dijual asing hari ini adalah PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang dijual asing sebanyak Rp 16 miliar.Nilai transaksi hari ini hampir menyentuh Rp 1 triliun yaitu tercatat mencapai Rp 822 miliar.
Mayoritas busa Asia hari ini terpantau merah, Hang Seng Index di Bursa Hong Kong turun sebesar 0,60%, Nikkei di Jepang terapresiasi sebesar 1,23%, sedangkan STI Singapore juga anjlok 1,86%.
Dari Bursa saham kiblat dunia, Amerika Serikat (AS) juga anjlok pada perdagangan Rabu tadi malam (10/6/2020) atau Kamis pagi waktu Indonesia, setelah investor melanjutkan aksirealisasi keuntungan (profit taking).
Indeks Dow Jones anjlok 1,04% atau turun 282,31 poin ke level 26.989,99. Selanjutnya S&P 500 yang juga ikut terdepresiasi 0,53% atau amblas17,04 poin ke level 3.190,14, sementara Nasdaq berhasil menanjak sebesar 0,67% atau terbang 66,60 poin ke level 10.020,35.
Nasib Indeks Dow Jones dan Nasdaq bak bumi dan langit. Dow Jones terpaksa terlempar dari angka psikologisnya 27.000, sementara Nasdaq berhasil membukukan rekor penutupan tertinggi sepanjang masa (all time high) menembus angka 10.000.
Sementara harga saham pabrikan minyak Chevron harus terkoreksi 3,9%, bahkan di sektor yang sama Exxon harus terkoreksi 5,4%. Sektor ini terdampak setelah harga minyak amblas, dan munculnya data stok minyak mentah AS yang naik 5,7 juta barel pada 5 Juni sedangkan konsensus hanya memprediksi kenaikan sebesar 1,7 juta barel.
Hal ini menyebabkan harga kontrak berjangka minyak mentah WTI ambles 2,24% setelah rilis data tersebut. Bahkan EIA telah memberi sinyal bahwa harga akan terus turun. Tercatat harga minyak mentah WTI kontrak berjangka Juni diperdagangkan dengan harga sekitar US$ 38 per barel.
Sentimen lain, hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) The Fed juga turut menjadi penggerak pasar Wall Street kemarin. Maklum rapat ini tidak hanya ditunggu oleh pelaku pasar Paman Sam tapi pelaku pasar di seluruh dunia.
Sesuai konsensus The Fed tidak menaikkan atau menurunkan suku bunga, sehingga tetap di angka 0% ke 0,25%.
"Kita tidak berpikir untuk menaikkan suku bunga, bahkan kita tidak berpikir untuk berpikir untuk menaikan suku bunga, yang kita pikirkan itu bagaimana kita akan menyokong perekonomian, akan tetapi kita pikir hal ini akan memerlukan waktu," ujar Gubernur The Fed Jerome Powell.
Rendahnya suku bunga ini akan berlanjut, menurut The Fed suku bunga ini akan dijaga sampai pada tahun 2022. Sementara itu outlook suku bunga untuk tahun 2020, 2021, dan 2022 turun 0,1% dari proyeksi bulan Desember.
"Komite akan mempertahankan target ini sampai kita benar-benar percaya bahwa ekonomi sudah tidak terdampak masalah (virus corona) ini lagi dan sudah menuju tingkat tenaga kerja yang maksimum dan stabilitas harga," ujar The Fed.
Keputusan ini datang setelah bank sentral ini terus melanjutkan program peminjaman dananya untuk menyokong perekonomian yang sudah resmi masuk ke fase resesi sejak Februari lalu.
Data tenaga kerja pada bulan May yang kemarin berhasil membuat investor berharap akan terjadinya perbaikan ekonomi yang cepat ternyata berbeda dengan tanggapan The Fed yang memotong proyeksi pertumbuhan AS untuk tahun-tahun kedepan setelah ketidakpastian global akibat pandemi ini.
Produk Domestik Bruto (GDP) AS diprediksi akan terkontraksi sebesar 6,5% di tahun 2020, jauh dari target sebelumnya yaitu 2%. Akan tetapi The Fed berekspektasi bahwa ekonomi tahun depan akan berekspansi 5% dan di tahun 2022 akan tumbuh 3,5%, naik tinggi dari prediksi sebelumnya yaitu 1,8 di tahun 2021 dan 1,9 di tahun 2022.
Tingkat pengangguran tahun ini di prediksi akan berada di level 9,3% naik dari prediksi sebelumnya 3,5%. Tetapi akan turun ke level 5,5% di tahun 2022.
Inflasi yang menjadi penggerak kebijakan moneter untuk kedepanya diprediksi akan turun ke level 0,8%. Angka ini turun dari proyeksi sebelumnya di angka 1,9%.
Total stimulus yang disuntikkan The Fed juga menyebabkan total neraca The Fed naik menjadi US$ 7 triliun naik dari US$ 4 triliun sebelum diserang pandemi Covid-19 Maret lalu. Akan tetapi The Fed tidak berencana untuk mengurangi kebijakan pelonggaran kuantitatifnya (QE), dengan berjanji untuk tetap menjaga kecepatan pembelian obligasi dalam bulan-bulan kedepan untuk menyokong aliran kredit ke rumah tangga dan bisnis.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp/trp) Next Article Deretan Saham yang Diborong & Dilepas Asing di Semester I