Mantap, Rupiah Sukses Libas Tiga Mata Uang Dolar Sekaligus!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
29 May 2020 18:17
rupiah detik
Foto: detik.com
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah sedang perkasa pada perdagangan Jumat (29/5/2020), tiga mata uang dolar dibuat rontok sekaligus. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memberikan tenaga ekstra bagi rupiah untuk menguat pada hari ini.

Melawan dolar AS, rupiah sukses menguat 0,68% ke Rp 14.575/US$ yang merupakan level terkuat sejak 12 Maret lalu. Sementara itu melawan dolar Singapura, rupiah berakhir 0,27% ke Rp 10.323,7/SG$, kemudian dolar Australia dibuat melemah 0,43% ke Rp 9.696,75/AU$ di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam paparan Perkembangan Ekonomi Terkini kemarin mengatakan nilai tukar rupiah saat ini masih undervalue, dan ke depannya akan kembali menguat ke nilai fundamentalnya, kembali ke level sebelum pandemi penyakit virus corona (Covid-19) terjadi di kisaran Rp 13.600-13.800/US$.

"Ke depan nilai tukar rupiah akan menguat ke fundamentalnya. Fundamental diukur dari inflasi yang rendah, current account deficit (CAD) yang lebih rendah, itu akan menopang penguatan rupiah. Aliran modal asing yang masuk ke SBN (Surat Berharga Negara) juga memperkuat nilai tukar rupiah" kata Perry, Kamis (28/5/2020).

"Kami yakni nilai tukar rupiah masih undervalue, dan berpeluang terus menguat ke arah fundamentalnya" tegas Perry.

Pernyataan Perry tersebut berbeda dengan sebelumnya yang mengatakan rupiah akan berada di kisaran Rp 15.000/US$ di akhir tahun. Rupiah kini disebut akan menguat ke nilai fundamentalnya, sehingga memberikan dampak psikologis ke pasar jika Mata Uang Garuda masih berpeluang menguat lebih jauh.

Efeknya tidak hanya terhadap dolar AS, dolar Singapura dan dolar Australia juga jadi korban rupiah pada hari ini. Inflasi yang rendah memang bisa menjadi penopang penguatan rupiah, sebabnya keuntungan riil yang didapat pelaku pasar ketika berinvestasi di Indonesia menjadi tidak tergerus. 



Yield obligasi Indonesia saat ini relatif lebih tinggi ketimbang negara-negara yang lainnya, kemudian dengan inflasi yang rendah tentunya cuan yang diperoleh investor akan lebih besar. Oleh karena itu, aliran modal berpeluang masuk deras ke pasar obligasi Indonesia yang akan jadi penopang penguatan rupiah.

Pada Kamis kemarin, yield obligasi Indonesia tenor 10 tahun berada di level 7,675%, jauh lebih tinggi di bandingkan negara-negara G20 dan beberapa negara ASEAN. Dari tabel di atas, hanya yield obligasi Afrika Selatan yang lebih tinggi dari Indonesia, tetapi peringkat kreditnya masih di bawah Indonesia dan belum masuk investment grade.



Tabel di atas juga menunjukkan inflasi berdasarkan data yang dirilis terakhir. Inflasi Indonesia di bulan April sebesar 2,67%, masih lebih rendah dibandingkan Afrika Selatan dan India, sehingga riil return yang dihasilkan tentunya jauh lebih tinggi. Inflasi di bulan Mei bahkan diprediksi akan lebih rendah lagi oleh BI. 

"Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) sampai minggu keempat, kami perkirakan pada Mei inflasi sangat rendah yaitu 0,09% month-to-month. Secara tahunan adalah 2,21%," kata Perry

Selain itu, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) di kuartal I-2020 jauh membaik.

Hal tersebut yang membuat BI optimistis aliran modal akan kembali masuk ke pasar obligasi Indonesia ketika sentimen pelaku pasar semakin membaik. BI pada 20 Mei lalu melaporkan CAD di kuartal I-2020 setara dengan 1,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Membaik dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 2,8% PDB. Defisit tersebut merupakan yang terendah sejak kuartal II-2017.

Transaksi Berjalan menjadi faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial, komponen Neraca Pembayaran Indonesia lainnya, yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Akibat CAD yang besar, pergerakan rupiah menjadi sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa.

Ketika CAD menurun maka pasokan devisa di perekonomian nasional semakin membaik, dan amunisi BI untuk menstabilkan rupiah menjadi lebih besar. Hal itu bisa memberikan kepercayaan bagi pelaku pasar terhadap stabilitas nilai tukar rupiah, dan tentunya lebih merasa nyaman berinvestasi di Indonesia.

Faktor-faktor tersebut membuat BI optimis aliran modal akan kembali masuk ke pasar obligasi Indonesia ketika sentimen pelaku pasar semakin membaik, yang pada akhirnya akan membuat rupiah kembali perkasa.

TIM RISET CNBC INDONESIA 
(pap/pap) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular