
Oh Rupiah, Sebenarnya Mau Menguat atau Melemah?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 May 2020 12:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terus berayun antara penguatan dan pelemahan hingga pertengahan perdagangan Senin (18/5/2020), pergerakan dipengaruhi sentimen dari dalam dan luar negeri.
Saat pembukaan perdagangan, rupiah melemah 0,13%, depresiasi semakin besar hingga 0,2% di Rp 14.860/US$. Setelahnya rupiah berbalik menguat tipis, tetapi balik lagi ke zona merah, sebelum akhirnya berada di level Rp 14.810/US$ atau menguat 0,13%. Tetapi, rupiah kembali masuk ke zona merah menyentuh level Rp 14.860/US$ pada pukul 12:00 WIB.
Posisi rupiah saat ini yang cukup jauh dari level psikologis Rp 15.000/US$ menjadi pemicu pergerakan tersebut.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam beberapa kesempatan selalu menekankan rupiah akan di kisaran Rp 15.000/US$ di akhir tahun ini. Padahal posisi rupiah sudah mendekati Rp 14.800/US$.
Pernyataan Perry tersebut tentunya memberikan dampak psikologis di pasar "rupiah tidak akan menguat lebih jauh", sehingga perlu tenaga ekstra atau momentum yang besar agar rupiah mampu menguat tajam lagi. Akibatnya rupiah pun jadi "malu-malu" untuk menguat.
BI akan mengumumkan kebijakan moneter Selasa besok, dan rupiah sepertinya juga masih menanti stimulus terbaru.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan median 4,25% untuk suku bunga acuan. Artinya, BI 7 Day Reverse Repo Rate dikurangi 25 basis poin (bps) dari posisi saat ini yang sebesar 4,5%.
Pemangkasan suku bunga oleh BI bisa memberikan efek positif ke pasar dan membuat rupiah kembali menguat.
Selain itu dari Pemerintah saat ini tengah berencana memudar kembali roda perekonomian dengan mengkampanyekan untuk hidup berdampingan dengan penyakit virus corona (Covid-19) selama vaksin belum ditemukan. Hidup berdampingan dengan virus corona dinyatakan Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan.
Tetapi menurut Jokowi, hidup berdampingan dengan Covid-19 bukan berarti menyerah dan pesimistis, justru itu menjadi titik tolak menuju tatanan kehidupan baru masyarakat atau yang disebut new normal.
Presiden Jokowi ingin agar masyarakat kembali produktif, artinya bisa bisa kembali beraktivitas tetapi dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Dari luar negeri, Covid-19 sekali lagi menunjukkan efek buruknya ke perekonomian. Data dari Pemerintah Jepang hari ini menunjukkan di kuartal I-2020 PDB Jepang mengalami kontraksi alias minus 0,9% quarter-on-quarter (QoQ), sementara secara year-on-year (YoY) minus 3,4%.
Jepang kini resmi mengalami resesi teknikal akibat PDB minus dalam dua kuartal beruntun secara QoQ. Di kuartal IV-2019 lalu, PDB Jepang minus 1,9% QoQ, dan di kuartal sebelumnya stagnan 0%.
Selain itu memanasnya hubungan AS-China yang berisiko memicu babak baru perang dagang, bahkan yang terburuk perang militer, cukup membebani sentimen pelaku pasar yang menyebabkan rupiah berayun antara penguatan dan pelemahan.
Reuters mengabarkan, China Institutes of Contemporary International Relations (CICIR) yang merupakan lembaga think tank dengan afiliasi ke Kementerian Pertahanan Negeri Tirai Bambu, membuat laporan bahwa Beijing berisiko diterpa sentimen kebencian dari berbagai negara. Skenario terburuknya, China harus bersiap dengan kemungkinan terjadinya konfrontasi bersenjata alias perang.
Sejauh ini pemerintah China belum memberikan konfirmasi mengenai laporan CICIR tersebut. "Saya tidak punya informasi yang relevan," ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China kala dikonfirmasi oleh Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Saat pembukaan perdagangan, rupiah melemah 0,13%, depresiasi semakin besar hingga 0,2% di Rp 14.860/US$. Setelahnya rupiah berbalik menguat tipis, tetapi balik lagi ke zona merah, sebelum akhirnya berada di level Rp 14.810/US$ atau menguat 0,13%. Tetapi, rupiah kembali masuk ke zona merah menyentuh level Rp 14.860/US$ pada pukul 12:00 WIB.
Posisi rupiah saat ini yang cukup jauh dari level psikologis Rp 15.000/US$ menjadi pemicu pergerakan tersebut.
Pernyataan Perry tersebut tentunya memberikan dampak psikologis di pasar "rupiah tidak akan menguat lebih jauh", sehingga perlu tenaga ekstra atau momentum yang besar agar rupiah mampu menguat tajam lagi. Akibatnya rupiah pun jadi "malu-malu" untuk menguat.
BI akan mengumumkan kebijakan moneter Selasa besok, dan rupiah sepertinya juga masih menanti stimulus terbaru.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan median 4,25% untuk suku bunga acuan. Artinya, BI 7 Day Reverse Repo Rate dikurangi 25 basis poin (bps) dari posisi saat ini yang sebesar 4,5%.
Pemangkasan suku bunga oleh BI bisa memberikan efek positif ke pasar dan membuat rupiah kembali menguat.
Selain itu dari Pemerintah saat ini tengah berencana memudar kembali roda perekonomian dengan mengkampanyekan untuk hidup berdampingan dengan penyakit virus corona (Covid-19) selama vaksin belum ditemukan. Hidup berdampingan dengan virus corona dinyatakan Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan.
Tetapi menurut Jokowi, hidup berdampingan dengan Covid-19 bukan berarti menyerah dan pesimistis, justru itu menjadi titik tolak menuju tatanan kehidupan baru masyarakat atau yang disebut new normal.
Presiden Jokowi ingin agar masyarakat kembali produktif, artinya bisa bisa kembali beraktivitas tetapi dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Dari luar negeri, Covid-19 sekali lagi menunjukkan efek buruknya ke perekonomian. Data dari Pemerintah Jepang hari ini menunjukkan di kuartal I-2020 PDB Jepang mengalami kontraksi alias minus 0,9% quarter-on-quarter (QoQ), sementara secara year-on-year (YoY) minus 3,4%.
Jepang kini resmi mengalami resesi teknikal akibat PDB minus dalam dua kuartal beruntun secara QoQ. Di kuartal IV-2019 lalu, PDB Jepang minus 1,9% QoQ, dan di kuartal sebelumnya stagnan 0%.
Selain itu memanasnya hubungan AS-China yang berisiko memicu babak baru perang dagang, bahkan yang terburuk perang militer, cukup membebani sentimen pelaku pasar yang menyebabkan rupiah berayun antara penguatan dan pelemahan.
Reuters mengabarkan, China Institutes of Contemporary International Relations (CICIR) yang merupakan lembaga think tank dengan afiliasi ke Kementerian Pertahanan Negeri Tirai Bambu, membuat laporan bahwa Beijing berisiko diterpa sentimen kebencian dari berbagai negara. Skenario terburuknya, China harus bersiap dengan kemungkinan terjadinya konfrontasi bersenjata alias perang.
Sejauh ini pemerintah China belum memberikan konfirmasi mengenai laporan CICIR tersebut. "Saya tidak punya informasi yang relevan," ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China kala dikonfirmasi oleh Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular