
NPL Bank Kakap di Q2 Bakal Naik, Seberapa Serius Masalah Ini?
Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
18 May 2020 10:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank-bank kelas kakap harus menghadapi risiko meningkatnya kenaikan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) pada kuartal kedua tahun ini. Hal ini imbas dari kebijakan bank-bank besar melakukan restrukturisasi kredit berupa penangguhan bunga maupun pokok terhadap nasabah terdampak Covid-19.
Senior Market Analyst PT Kresna Sekuritas, Etta Rusdiana Putra mengatakan, sektor perbankan masih akan menghadapi risiko di tengah perekonomian dalam negeri yang diperkirakan masih akan mengalami tekanan seiring dengan potensi terjadinya gelombang Covid-19 kedua di tanah air.
"NPL perbankan berpotensi meningkat di tengah perubahan peringkat utang Indonesia dan risiko meningkatnya volatilitas pasar," kata Etta, dalam riset yang dipublikasikan, Senin (18/5/2020).
Akan tetapi, dia meyakini sektor perbankan masih akan menjadi penentu laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sampai akhir tahun ini. Kresna memperkirakan, outlook jangka panjang IHSG diperkirakan akan melaju di level 5.830 - 5.890 hingga akhir tahun ini. Akan tetapi, pada skenario bearish diperkirakan IHSG akan melaju pada 3.995-4.035.
"Saham perbankan akan menjadi motor IHSG," kata dia.
Kresna merekomendasikan saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan target beli di harga Rp 30.800 per saham, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Rp 5.000 per saham, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) Rp 3.200 per saham dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) Rp 4.500 per saham.
Risiko Likuiditas
Terpisah, Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), Sunarso mengatakan, bank akan menghadapi risiko terganggunya likuiditas dan tergerusnya marjin bunga bersih akibat restrukturisasi yang cukup besar pada kuartal kedua tahun ini.
Sunarno mengatakan, hingga triwulan pertama, perseroan telah merestrukturisasi 1,4 juta nasabah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) senilai Rp 101 triliun. Tentunya, dengan relaksasi melalui penundaan pembayaran angsuran pokok dan bunga oleh debitur akan menganggu likuiditas dan menurunnya pendapatan dari sisi marjin bunga bersih.
"Restrukturisasi ini ada dua dampak, akibat penundaan pokok yang berkurang adalah likuiditas, karena nasabah yang tadinya membayar jadi tidak membayar. Kedua, yang seharusnya bayar bunga jadi tidak membayar bunga, yang terpengaruh adalah income," kata Sunarso, yang juga Ketua Himpunan Bank Milik Negara ini dalam pemaparan, Kamis (14/5/2020).
Mengantisipasi terganggunya likuiditas tersebut, perseroan telah mengantisipasinya dengan menghimpun pendanaan sebesar US$ 1 miliar yang bersumber dari 10 bank di luar negeri.
Selain itu, bank yang fokus pada pembiayaan UMKM ini juga lebih realistis dan mengubah Rencana Bisnis Bank dengan merevisi ke bawah pertumbuhan kredit pada tahun ini.
"Kalau revisi tentu kita akan revisi, tentunya akan merevisi turun dari semula pertumbuhan kredit 11 persen kemungkinan akan kita turunkan, tapi belum finasliasi. Awal Juni kita akan selesaikan dan sampaikan ke OJK," tutur Direktur Keuangan BRI, Haru Koesmahargyo.
(hps/hps) Next Article 'Dipaksa' Turunkan Bunga Kredit, Saham Bank Babak Belur
Senior Market Analyst PT Kresna Sekuritas, Etta Rusdiana Putra mengatakan, sektor perbankan masih akan menghadapi risiko di tengah perekonomian dalam negeri yang diperkirakan masih akan mengalami tekanan seiring dengan potensi terjadinya gelombang Covid-19 kedua di tanah air.
"NPL perbankan berpotensi meningkat di tengah perubahan peringkat utang Indonesia dan risiko meningkatnya volatilitas pasar," kata Etta, dalam riset yang dipublikasikan, Senin (18/5/2020).
"Saham perbankan akan menjadi motor IHSG," kata dia.
Kresna merekomendasikan saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan target beli di harga Rp 30.800 per saham, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Rp 5.000 per saham, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) Rp 3.200 per saham dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) Rp 4.500 per saham.
Risiko Likuiditas
Terpisah, Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), Sunarso mengatakan, bank akan menghadapi risiko terganggunya likuiditas dan tergerusnya marjin bunga bersih akibat restrukturisasi yang cukup besar pada kuartal kedua tahun ini.
Sunarno mengatakan, hingga triwulan pertama, perseroan telah merestrukturisasi 1,4 juta nasabah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) senilai Rp 101 triliun. Tentunya, dengan relaksasi melalui penundaan pembayaran angsuran pokok dan bunga oleh debitur akan menganggu likuiditas dan menurunnya pendapatan dari sisi marjin bunga bersih.
"Restrukturisasi ini ada dua dampak, akibat penundaan pokok yang berkurang adalah likuiditas, karena nasabah yang tadinya membayar jadi tidak membayar. Kedua, yang seharusnya bayar bunga jadi tidak membayar bunga, yang terpengaruh adalah income," kata Sunarso, yang juga Ketua Himpunan Bank Milik Negara ini dalam pemaparan, Kamis (14/5/2020).
Mengantisipasi terganggunya likuiditas tersebut, perseroan telah mengantisipasinya dengan menghimpun pendanaan sebesar US$ 1 miliar yang bersumber dari 10 bank di luar negeri.
Selain itu, bank yang fokus pada pembiayaan UMKM ini juga lebih realistis dan mengubah Rencana Bisnis Bank dengan merevisi ke bawah pertumbuhan kredit pada tahun ini.
"Kalau revisi tentu kita akan revisi, tentunya akan merevisi turun dari semula pertumbuhan kredit 11 persen kemungkinan akan kita turunkan, tapi belum finasliasi. Awal Juni kita akan selesaikan dan sampaikan ke OJK," tutur Direktur Keuangan BRI, Haru Koesmahargyo.
(hps/hps) Next Article 'Dipaksa' Turunkan Bunga Kredit, Saham Bank Babak Belur
Most Popular