Warning BPK Soal Penerbitan SBN Via Private Placement

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
11 May 2020 19:31
Gedung BPK (detik.com/Ari Saputra)
Foto: Gedung BPK (detik.com/Ari Saputra)
Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pengawas Keuangan (BPK) menyoroti perihal kebijakan pemerintah yang berencana untuk menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) guna menanggulangi pandemi covid-19.

Seperti diketahui, di dalam Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia (BI) diperbolehkan untuk membeli SBN yang diterbitkan Kementerian Keuangan di pasar primer.

Auditor Utama II BPK, Laode Nusriadi mendesak Kementerian Keuangan untuk bekerja sama dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pihak berwenang lainnya mengenai kebijakan pemasaran SBN.

"Paling mendesak itu, menyempurnakan kebijakan penetapan private placement, karena private placement ini tidak dijual di pasar bebas dan penetapannya langsung. Tapi yield-nya ini sulit diukur dan dia tidak ada rumusan yang jelas," kata Laode dalam video conference, Senin (11/5/2020).

Adapun landasan hukum mengenai pelaksanaan pembelian surat berharga negara (SBN) oleh Bank Indonesia (BI) tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 38/2020.

Dalam PMK 38/2020 tersebut, pembelian SBN oleh BI dilakukan setelah adanya kesepakatan antara pemerintah dengan BI dengan mempertimbangkan kondisi pasar SBN, pengaruh terhadap inflasi, dan jenis SBN yang hendak dibeli.

SBN juga dapat dijual lewat private placement langsung kepada BI. Tata cara private placement dilakukan sesuai dengan kesepakatan pemerintah dan BI tanpa melalui mekanisme Peraturan Menteri Keuangan mengenai penjualan SBN dengan cara private placement di pasar domestik.

Menurut Laode, perlu ada ukuran-ukuran yang jelas terkait aturan private placement tersebut. "Ini kalau tidak diatur dengan jelas, tanda kutip, bisa melampaui yield di pasar," ujarnya.

Selain itu, yang juga semestinya dilakukan oleh Kementerian Keuangan dan otoritas terkait, harus ada mekanisme monitoring pencegah keterlambatan pembayaran kupon dan kompensasi terhadap keterlamabatan atau permasalahan pelunasan hutang.

Wakil Ketua BPK Agus Joko Pramono mengatakan, Kementerian Keuangan harus memitigasi atau menyusun kerangka pengelolaan fiskal pemerintah atau fiscal sustainability analysis (FSA).

Pemerintah diharapkan bisa menampilkan FSAM sehingga dapat mengurangi ketidakpercayaan masyarakat, sehingga pada jangka waktu tertentu, utang tidak akan menumpuk.

"Jadi, pemerintah punya alat untuk memitigasi, kapan utang dibayar, menggunakan anggaran yang mana, dan seperti apa bentuknya. Itu sudah direkomendasikan oleh BPK untuk membuat long term FSA, dan itu sangat penting untuk menimbulkan trust dari stakeholder," kata Agus.



(dru) Next Article Rapor Terbaru BPK Soal Pengawasan Bank dan Non Bank OJK

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular