Jalan Masih Terjal, Fitch Solutions Ramal Rupiah ke 16.500/US

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
08 May 2020 17:28
Warga melintas di depan toko penukaran uang di Kawasan Blok M, Jakarta, Jumat (20/7). di tempat penukaran uang ini dollar ditransaksikan di Rp 14.550. Rupiah melemah 0,31% dibandingkan penutupan perdagangan kemarin. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin melemah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah menunjukkan kinerja impresif melawan dolar Amerika Serikat (AS) sejak bulan April lalu. Sepanjang April, rupiah membukukan penguatan lebih dari 9% dan menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia.

Memasuki bulan Mei, rupiah sedikit terkoreksi, meski hari ini Jumat (8/5/2020) mampu membukukan penguatan 0,6%, tetapi secara month-to-date atau sepanjang Mei masih melemah 0,44%. Pelemahan tersebut terbilang wajar sebagai koreksi teknikal yang "sehat" mengingat sepanjang April rupiah menguat lebih dari 9%.

Meski demikian, jalan ke depan masih panjang dan risiko terjadinya kemerosotan ekonomi akibat pandemi virus corona (Covid-19) masih tinggi. Oleh karena itu, Fitch Solutions memprediksi mata uang Asia masih berisiko mengalami aksi jual. Rupiah menjadi salah satu yang berisiko kembali mengalami pelemahan.



"Kami memperkirakan dalam beberapa bulan ke depan pasar finansial global akan kembali mengalami volatilitas, yang akan membebani rupiah Indonesia, yang memiliki ketergantungan dengan aliran modal (hot money)" tulis Fitch Solutions.

Oleh sebab itu, Fitch Solutions memprediksi rupiah akan berada di level Rp 16.500/US$ di akhir tahun ini.

Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.

Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat.



Hal tersebut sangat kentara pada bulan Maret lalu, ketika rupiah babak belur. Rupiah sepanjang Maret merosot 13,67%, bahkan sempat menyentuh Rp 16.620/US$ yang menjadi level terlemah sejak krisis moneter 1998.

Saat itu, terjadi capital outflow yang sangat besar di pasar obligasi. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan Maret terjadi capital outflow sebesar Rp 121,26 triliun di pasar obligasi.

Besarnya capital outflow tersebut sejalan dengan peningkatan volatilitas di pasar global. Hal tersebut terlihat dari pergerakan volatility index (VIX) yang menjadi cermin kepanikan global.

Pada bulan Maret volatility index mencapai level 85,47, menjadi yang tertinggi sejak krisis finansial global tahun 2008. Sejak mencapai level tersebut VIX sudah terus menurun hari ini berada di level 30. Meski demikian, posisi VIX masih cukup jauh dibandingkan sebelum terjadi pandemi Covid-19 saat VIX masih berada di bawah level 20.



Sejalan dengan menurunnya volatilitas global, capital outflow di pasar obligasi juga menurun drastis, bahkan sempat terjadi inflow di bulan April. Data dari DJPPR menunjukkan sepanjang bulan April terjadi "hanya" terjadi outflow sebesar Rp 2,15 triliun.

Penurunan volatilitas global tersebut dan rendahnya capital outflow membuat rupiah menjadi perkasa di bulan April. Tetapi seperti yang diungkapkan oleh Fitch Solutions, risiko kemerosotan ekonomi masih mungkin terjadi.

Memang banyak negara sudah mulai melonggarkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) sehingga roda perekonomian bisa mulai berputar kembali. Tetapi banyak yang melihat perekonomian masih akan merosot dalam waktu yang cukup lama. Amerika Serikat (AS) bahkan diprediksi akan mengalami depresi.

Hal tersebut diungkapkan oleh Nouriel Roubini, profesor di New York University's Stern School of Business yang juga chairman dari Roubini Macro Associates LLC. Roubini merupakan orang yang memprediksi tahun 2008 akan terjadi krisis finansial global.

"Sayangnya, saya khawatir ada beberapa tren besar... yang saya sebut '10 Deadly D' yang akan membawa kita memasuki masa depresi di dekade ini" kata Roubini dalam sebuah wawancara di Bloomberg.

[Gambas:Video CNBC]


Yang dimaksud '10 Deadly D' oleh Roubini diantaranya debt, deficit, deglobalization, currency devaluation, hingga environment disruption.

Oleh karena itu, risiko peningkatan volatilitas di pasar finansial global masih cukup tinggi, sehingga masih ada risiko rupiah kembali melemah.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular