AS vs China, Mata Uang Negara Berkembang Sulit Lawan Dolar?

Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
07 May 2020 21:21
Ilustrasi Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang negara berkembang yang sudah kesulitan untuk mencatatkan penguatan terhadap dolar, kemungkinan akan lebih kesulitan lagi untuk melawan dolar akibat meningkatnya ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China terkait pandemi virus corona (COVID-19).

Demikian menurut hasil dari sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Reuters terhadap ahli strategi valuta asing (foreign exchange).

Hal tersebut mungkin terjadi karena saat ini Presiden AS Donald Trump telah mengeluarkan ancaman untuk menerapkan tarif baru pada China. Ketegangan ini dipastikan akan membuat dolar dan aset aman (safe haven) lainnya menjadi jauh lebih menarik.

"Ini kemungkinan akan menyebabkan penurunan serius dalam reli risiko yang menantang yang telah kita saksikan hampir sepanjang minggu ini," kata Michael Every, ahli strategi global di Rabobank di Hong Kong.


Hasil jajak pendapat menunjukkan, 22 dari 56 ahli strategi dan analis pasar yang disurvei pada 4-6 Mei mengatakan mata uang dari pasar-pasar utama negara berkembang, yang sebagian besar mengekspor bahan mentah ke China, berada dalam risiko melemah moderat dalam tiga bulan ke depan karena safe havens tetap populer. Enam belas orang di antaranya mengatakan nilainya akan menuju ke sekitar level saat ini.

"Banyak responden jajak pendapat mengatakan akan ada volatilitas valuta asing yang lebih tinggi di masa depan." tulis Reuters, Kamis.

Sebelumnya, sebagian besar mata uang negara berkembang telah stabil setelah jatuh ke posisi terendah tiga tahun pada akhir Maret. Itu merupakan salah satu bulan terburuk dalam catatan pergerakan valuta asing, di mana pelemahan mencapai 3,5%. Mata uang negara berkembang melemah sekitar 6% secara keseluruhan sejak awal 2020, menurut indeks MSCI.

Hasil jajak pendapat juga menyebutkan bahwa otoritas China akan menjaga ketat mata uang yuan, akibat potensi dari dimulainya kembali perang dagangnya dengan AS.



Setelah melemah ke level terendah satu bulan pada hari Rabu, mata uang pasar berkembang diperkirakan bakal diperdagangkan paling aktif di level 7,05 per dolar dalam tiga bulan. Level ini tidak jauh dari angka yang diperdagangkan pada hari Rabu, menguat menjadi 7,01 dalam enam bulan.

Sementara itu, yuan diperkirakan akan diperdagangkan menguat sekitar 2% ke 6,95 per dolar pada saat yang sama di tahun depan.

Namun, Every dan beberapa analis lain mengatakan optimisme investor yang telah meningkat dalam beberapa pekan terakhir tampak terlalu dini.

"Ambang kunci yang harus diperhatikan adalah 7,15, yang merupakan nilai tertinggi yang tercatat tahun ini, dan kemudian 7,19, yang merupakan nilai tertinggi yang tercatat sebelum kesepakatan perdagangan Fase 1 ditandatangani," kata Every.

"Menembus (level) yang terakhir dan kita berada di terowongan yang gelap dan menakutkan ... dan kita tidak tahu apakah cahaya yang kita lihat di depan adalah jalan keluar atau hanya pantulan mata monster." jelasnya.

[Gambas:Video CNBC]


(res/res) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular