Walau Naik, Harga Batu Bara Masih Rawan Koreksi

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
30 April 2020 11:14
Coal barges are pictured as they queue to be pull along Mahakam river in Samarinda, East Kalimantan province, Indonesia, August 31, 2019. Picture taken August 31, 2019. REUTERS/Willy Kurniawan
Foto: Tongkang batubara di Sungai Mahakam, Samarinda, Kalimantan Timur (REUTERS/Willy Kurniawan)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pada perdagangan kemarin, harga batu bara termal Newcastle kontrak berjangka ditutup menguat. Walaupun sudah menguat dalam dua hari terakhir, harga batu bara sejatinya masih berpotensi untuk terkoreksi lantaran belum didukung oleh fundamentalnya.

Rabu (29/4/2020), harga batu bara kontrak futures menguat 0,68% ke US$ 52,2/ton di akhir perdagangan. Penguatan tersebut tidaklah signifikan untuk membawa harga batu bara kembali ke periode awal tahun. Kini harga batu bara sedang berada di titik terendahnya sejak 25 Mei 2016.



Penguatan harga batu bara kontrak futures lebih mencerminkan fenomena teknikal saja mengingat fundamentalnya belum mendukung. Harga batu bara naik lantaran harga kontraknya yang sudah terlampau murah sehingga memberikan momentum untuk aksi beli. 

Jika dilihat secara fundamental, permintaan batu bara termal Australia masih dibilang lesu. Terutama untuk pasar batu bara lintas laut Asia Pasifik. Pandemi COVID-19 yang awalnya merebak di China telah membuat dinamika pasar berubah.

Kinerja impor batu bara di negara-negara konsumen bahan bakar jenis fosil ini di Asia juga tak menunjukkan adanya perbaikan. Bahkan malah menurun. Mengacu pada data Refinitiv, impor batu bara termal Korea Selatan dan Jepang dalam 4 pekan terakhir masing-masing hanya 6,8 juta ton dan 11,5 juta ton.

Volume impor batu bara tersebut jelas lebih rendah dari impor April tahun lalu. Pada periode yang sama tahun lalu Korea Selatan mengimpor batu bara termal sebanyak 9,1 juta ton, sementara Jepang mengimpor 12,6 juta ton batu bara.

Di sisi lain, permintaan batu bara juga terancam dengan adanya potensi bahwa China dan India akan beralih untuk memanfaatkan pasokan batu bara domestik di tengah lesunya ekonomi kedua negara akibat terjangkit wabah COVID-19.

Dari bumi belahan barat, Inggris melaporkan sudah lebih dari 18 hari tidak menggunakan batu bara untuk pembangkit listriknya. Penyebabnya ada dua yaitu perubahan cuaca yang lebih mendukung penggunaan sumber energi alternatif dan kebijakan lockdown untuk menekan penyebaran wabah COVID-19.

"Lockdown nasional yang dilakukan sejak akhir Maret untuk mencoba mengatasi pandemi COVID-19 telah memicu terjadinya penurunan signifikan dalam permintaan di seluruh negeri, dengan peningkatan konsumsi dalam negeri yang tak sebanding dengan penurunan permintaan industri," National Grid ESO mengatakan dalam sebuah pernyataan sebagaimana diwartakan CNBC Internasional.



Sebagai sumber energi, popularitas batu bara di Inggris mulai memudar. Menurut pemerintah, ketergantungan pada batu bara untuk listrik telah turun dari 70% pada tahun 1990 menjadi di bawah 3% hari ini.
 

Pihak berwenang bertujuan untuk menghapus batu bara dari sistem energi Inggris pada tahun 2025 dan baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka akan berkonsultasi mengenai percepatan tenggat waktu itu hingga 1 Oktober 2024. 

Bagaimanapun juga murahnya harga batu bara pun dinilai tak mampu mendongkrak permintaan lantaran dinamika pasar berubah. Ini semua pemicunya satu. Pandemi COVID-19.

 

 

[Gambas:Video CNBC]



 

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg) Next Article COVID-19 Bikin Ekonomi Asia Lesu, Harga Batu Bara Melorot

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular