Ini Kekuatan Bank Mega Hadapi Pandemi Corona

Arif Gunawan & Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
24 April 2020 11:07
Kantor Kas Bank Mega di TSM Bali (dok: Detikcom)
Foto: Kantor Kas Bank Mega di TSM Bali (dok: Detikcom)
Jakarta, CNBC Indonesia- Pandemi COVID-19 membuat beberapa wilayah melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) demi memutus rantai penyebaran virus ini. Pandemi ini pun membuat pertumbuhan ekonomi tersendat karena aktivitas dunia usaha di sektor riil ikut terhambat, termasuk sektor perbankan.

Dalam kondisi ini, PT Bank Mega Tbk (MEGA) mampu membukukan kinerja cemerlang dengan membukukan laba bersih senilai Rp 669,39 miliar, melesat 38,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Lonjakan laba di tengah situasi sulit ini berhasil diraih karena Bank Mega mampu mengendalikan dua pos di buku laba-rugi, yakni pendapatan dan beban. Di satu sisi, pendapatan terdorong, sementara beban terkendali agar tidak melampaui pos pendapatan.

Berdasarkan laporan keuangan kuartal I-2020, terlihat bahwa pendapatan bunga naik double digit, yakni sebesar 12,7% menjadi Rp 2 triliun. Beban bunga juga tumbuh digit ganda, yakni 15,7%, tetapi akumulasi nilainya hanya separuh dari pendapatan bunga, tepatnya di Rp 1 triliun.


Pertumbuhan beban bunga bagi perbankan adalah sebuah kewajaran, karena mereka mengelola aset produktif yakni dana masyarakat (Dana Pihak Ketiga/DPK). Konsekuensi pengelolaan aset masyarakat (berupa tabungan dan deposito) itu adalah pembayaran bunga.

Dengan pertumbuhan DPK yang signifikan, beban bunga otomatis juga tumbuh. Sebaliknya ketika pos beban bunga turun atau flat, maka besar kemungkinan bank tersebut tidak mampu menarik masyarakat untuk menyimpan dananya di kas mereka.

Beban bunga juga bisa naik jika suku bunga meninggi. Namun dalam konteks sekarang, ini tidak terjadi. BI 7-Day Reverse Repo Rate justru menurun (dari 6% pada Maret 2019 menjadi 4,5% pada Maret 2020). Tim Riset CNBC Indonesia mencatat kenaikan beban bunga di Bank Mega lebih dipicu faktor kenaikan simpanan masyarakat dan bukan akibat kenaikan suku bunga. Hal ini pun menjadi tanda positif dari Bank Mega di tengah ketidakpastian ini.
Lalu di mana parameter untuk melihat kenaikan beban dan pendapatan bunga dari sebuah bank masih tokcer? Jawabannya ada pada selisih/margin bunga bersih (Net Interest Margin/NIM). NIM menunjukkan kemampuan bank mengelola aktiva produktifnya guna menghasilkan pendapatan bunga bersih (Net Interest Income/NII).

Per Maret, NIM Bank Mega di angka 4,84%, atau dua kali lebih besar dari NIM ideal menurut Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebesar 2%. NII Bank Mega per kuartal I-2020 meningkat dari Rp 901 miliar di Q1 2019 menjadi Rp 989 miliar di Q1 2020 atau meningkat 10% secara tahunan (YOY).

Direktur Utama Bank Mega Kostaman Thayib mengatakan selain beban bunga, pos beban lain yang dikendalikan adalah beban operasional untuk membiayai operasi kantor cabang, gaji karyawan, dan lain lain. Ini terlihat dari rasio Beban Operasi terhadap Pendapatan Operasi (BOPO) yang hanya 69,7% atau menurun dari Maret tahun lalu (72,2%).

Angka ini lebih baik dari kisaran ideal yang dipatok Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di level 70%.Bahkan jika dibandingkan dengan BOPO industri/perbankan Februari 2020 (yang tercatat sebesar 83,60%), maka capaian efisiensi tersebut masih lebih prima dari rata-rata industri.

"BOPO Bank Mega 69,7%inimenunjukan Bank Mega melakukan efisiensi biaya,"kataKostaman.

Tertarik riset lebih lengkap tentang Bank Mega silahkan baca : Menakar Daya Tahan Bank Mega Hadapi Krisis Corona

(dob/dob) Next Article Ini Kunci Pendongkrak Kinerja Bank Mega di Kala Pandemi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular