Special Research

Menakar Daya Tahan Bank Mega Hadapi Krisis Corona

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
23 April 2020 23:05
cover topik/Kinerja Bank Mega Melesat saat COVID-19 Mewabah dalam/Aristya Rahadian Krisabella
Foto: cover topik/Kinerja Bank Mega Melesat saat COVID-19 Mewabah dalam/Aristya Rahadian Krisabella

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada kuartal I-2020 dunia menghadapi wabah virus corona (strain baru) yang lain dari biasanya. Virus ini mudah menular, sulit diidentifikasi karena pasien kadang tak menunjukkan gejala, tapi cukup mematikan. Ekonomi pun tersendat hebat.

Hingga saat ini, menurut situs Worldometers, sebanyak 2,6 juta orang sudah terjangkit dengan 185.000 korban meninggal di seluruh dunia. Tidak heran, pembatasan sosial dan atau karantina wilayah pun dijalankan di berbagai negara.

Di Indonesia, menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, sebanyak 19 daerah/wilayah telah mendapat izin untuk memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau lockdown parsial yang berujung pada tersendatnya aktivitas dunia usaha di sektor riil.

Sebelumnya sejak Maret, Ibu Kota sudah menerapkan social distancing dan mengurangi aktivitas bisnis. Dus, bulan Maret ini menjadi bulan pertama infeksi corona terhadap sektor riil. Pemerintah pun merevisi target pertumbuhan ekonomi tahun ini dari 5,3% menjadi 2,3%.

Namun di tengah situasi demikian, PT Bank Mega Tbk (MEGA) membukukan kinerja yang cemerlang dengan pertumbuhan laba setelah pajak (profit after tax/PAT) sebesar 38,4% menjadi Rp 669,39 miliar. Masih sangat cuan.

Lonjakan laba tersebut dicatatkan berkat kepiawaian Kostaman Thayib selaku Direktur Utama Bank Mega mengendalikan dua pos di buku laba-rugi, yakni pendapatan dan beban. Di satu sisi, pendapatan terdorong, sementara beban terkendali agar tak melampaui pos pendapatan.

Jika mengacu pada laporan kuartal I-2020, terlihat bahwa pendapatan bunga naik double digit, yakni sebesar 12,7% menjadi Rp 2 triliun. Beban bunga juga tumbuh digit ganda, yakni 15,7%, tetapi akumulasi nilainya hanya separuh dari pendapatan bunga, tepatnya di Rp 1 triliun.

Harap dicatat, pertumbuhan beban bunga bagi perbankan adalah sebuah kewajaran, karena mereka mengelola aset produktif yakni dana masyarakat (Dana Pihak Ketiga/DPK). Konsekuensi pengelolaan aset masyarakat (berupa tabungan dan deposito) itu adalah pembayaran bunga.

Oleh karenanya, beban bunga otomatis juga tumbuh jika DPK tumbuh. Sebaliknya ketika pos beban bunga turun atau flat, maka sangat besar kemungkinan bank tersebut tak mampu menarik masyarakat untuk menyimpan dananya di kas mereka.

Beban bunga juga bisa naik jika suku bunga meninggi. Namun dalam konteks sekarang, ini tidak terjadi. BI 7-Day Reverse Repo Rate justru menurun (dari 6% pada Maret 2019 menjadi 4,5% pada Maret 2020). Dus, kenaikan beban bunga di Bank Mega lebih dipicu faktor kenaikan simpanan masyarakat dan bukan akibat kenaikan suku bunga. Ini tentu sesuatu yang positif.

Lalu di mana parameter untuk melihat kenaikan beban dan pendapatan bunga dari sebuah bank masih tokcer? Jawabannya ada pada selisih/margin bunga bersih (Net Interest Margin/NIM). NIM menunjukkan kemampuan bank mengelola aktiva produktifnya guna menghasilkan pendapatan bunga bersih (Net Interest Income/NII).

Per Maret, NIM Bank Mega di angka 4,84%, atau dua kali lebih besar dari NIM ideal menurut Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebesar 2%. Tidak heran, NII Bank Mega per kuartal I-2020 meningkat dari Rp 901 miliar di Q1 2019 menjadi Rp 989 miliar di Q1 2020 atau meningkat 10% secara tahunan (YOY).

Selain beban bunga, pos beban lain yang dikendalikan adalah beban operasional (untuk membiayai operasi kantor cabang, gaji karyawan, dlsb). Ini terlihat dari rasio Beban Operasi terhadap Pendapatan Operasi (BOPO) yang hanya 69,7% atau menurun dari Maret tahun lalu (72,2%).

Ini lebih baik dari kisaran ideal yang dipatok Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di level 70%.Bahkan jika dibandingkan dengan BOPO industri/perbankan Februari 2020 (yang tercatat sebesar 83,60%), maka capaian efisiensi tersebut masih lebih prima dari rata-rata industri. 

[Gambas:Video CNBC]



Di tengah krisis, kinerja penyaluran kredit pasti tertekan. Menyusul wabah COVID-19, Bank Indonesia (BI) telah beberapa kali merevisi target pertumbuhan kredit perbankan: dari 10%-12% (akhir 2019), direvisi menjadi 9%-11% (Februari), dan menjadi 6%-8% (Maret).

Namun hal sebaliknya terjadi pada Bank Mega sepanjang kuartal I-2020. Bank yang kini berusia 51 tahun ini memberikan kejutan dengan lompatan pada penyaluran kreditnya, dan pertumbuhan DPK, yang masing-masing melesat dengan digit ganda sebesar 23,2% dan 29%.

Artinya, khittah Bank Mega sebagai lembaga intermediasi (pengumpul dan penyalur dana masyarakat) terjaga meski situasi sedang bergejolak. Jika mengacu pada target BI sebesar 6%-8%, maka kinerja penyaluran kredit Bank Mega kuartal pertama ini masih jauh lebih baik.

Jika kita adu dengan rerata industri, kinerja intermediasi Bank Mega juga masih unggul. Tengok saja data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang terbaru (per Februari 2020), di mana kredit dan DPK perbankan hanya tumbuh 5,9% dan 7,8% secara tahunan.

Salah satu pemicu kinerja penyaluran kredit yang prima di Bank Mega tersebut adalah partisipasi perseroan dalam pendanaan sektor infrastruktur pemerintah, melengkapi sektor korporasi dan kredit konsumer yang intens digarap selama ini.

“Penyaluran kredit kepada korporasi tercatat sebagai segmen bisnis yang paling besar memberikan kontribusi pada penyaluran kredit secara keseluruhan. Peningkatan kredit korporasi terutama berasal dari kredit infrastruktur jalan tol yang dijamin pemerintah dan kredit kepada korporasi dengan track record yang baik,” tutur Kostaman dalam keterangan resminya.

Meski penyaluran kredit terhitung sangat tinggi, faktor prudensial tetap dipertahankan oleh bank milik grup CT Corp ini. Rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) bruto Bank Mega pada Maret tercatat di level 1,55%, atau membaik dibandingkan posisi tahun lalu (1,75%).

Sementara itu, NPL netto (di mana kredit bermasalah dikurangi Cadangan Kerugian Penurunan Nilai/CKPN) tercatat hanya 1,2% per Maret. Angka ini lagi-lagi membaik jika dibandingkan dengan posisi Maret tahun lalu yang berada di level 1,43%.

Harap dicatat, capaian peningkatan kredit dan penurunan NPL ini dibukukan ketika negeri ini terpukul krisis corona pada sebulan terakhir. Dampak corona tersebut tidak (atau lebih tepatnya, belum) terlihat pada kinerja Bank Mega.

Apakah kinerja positif ini bakal terjaga hingga akhir tahun? Mari kita ulas.

Jika berbicara mengenai prospek Bank Mega hingga akhir tahun ketika dampak wabah corona terakumulasi, mau tak mau kita harus melihat aspek yang lebih fundamental, yakni permodalan dan likuiditas.

Dua hal inilah yang menentukan sebuah bank bisa bertahan atau gagal dalam situasi krisis. Keduanya adalah parameter utama yang dipakai regulator dalam stress test (uji ketahanan bank lewat simulasi krisis).

Jika kita tengok kinerja Bank Mega per Maret 2020, permodalan masih terbukti kokoh dengan Rasio Kecukupan Modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) di level 24,7%, atau tumbuh dari capaian pada Maret 2019 di level 24,25%. Ini lebih besar dari tren industri yang mencatatkan CAR (per Februari 2020) sebesar 22,3%.

Angka itu jauh lebih sehat jika mengacu pada standar minimal yang diatur Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk bank sistemik sebesar 13,5%. Bisa dibilang, kesehatan Bank Mega (dan juga industri perbankan secara umum) dari sisi permodalan adalah dua kali lipat dari standard.

Jika mengacu pada pengalaman dua krisis sebelumnya, kondisi permodalan bank sekarang jauh berbeda. Modal mereka cukup besar untuk membentengi diri dari efek tekanan ekonomi yang muncul. Sebagai perbandingan, CAR bank di krisis moneter 1998 adalah sebesar -15%. Ya, minus. Sementara itu, CAR perbankan pada krisis finansial 2008 berkisar 16%.

Lalu bagaimana dengan likuiditas?

Bank Mega hingga Maret 2020 mencatatkan rasio kredit terhadap DPK (Loan to Deposit Ratio/LDR) sebesar 67,48%. Ini boleh dibilang keajaiban. Pasalnya, menurut SPI (Februari 2020), LDR bank Buku 3 ada di angka 98,2%. Artinya, dana yang disalurkan bank nyaris sama besar dengan dana masyarakat yang disimpan. Cukup ketat.

Khusus bank konvensional yang terkategori Buku III (bermodal inti antara Rp 5 triliun-Rp 30 triliun) LDR-nya lebih ketat lagi, yakni 101%. Bank Mega ada di himpunan ini, tetapi LDR-nya justru longgar dan bahkan dekat dengan range ideal yang dipatok BI yakni 75%-80%.

Faktor likuiditas ini menjadi keunggulan kompetitif Bank Mega di antara bank buku III lainnya selama era krisis COVID-19. Di tengah situasi krisis, kekuatan likuiditas (dana siaga besar) berpeluang menjadi semacam cadangan oksigen bagi bank tersebut.

Dana tunai yang berlebih sewaktu-waktu juga bisa dipakai sebagai leverage (kail penggalian dana) untuk mengakuisisi dan menyelamatkan bank lebih kecil yang kesulitan, jika hal itu diperlukan dan menguntungkan secara bisnis.

Mengacu pada data dan fakta tersebut, sulit untuk menafikan kuatnya prospek positif Bank Mega tahun ini, dalam menghadapi pandemi.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Laba Bank Mega Naik 11% Jadi Rp 747 Miliar di Kuartal I-2021

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular