
Ada Wabah Covid-19, Begini Arah Nasib Industri Ritel RI
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
14 April 2020 17:13

Melihat adanya wabah corona yang merebak di dalam negeri, bagaimana prospek emiten ritel Indonesia?
Tak bisa dipungkiri, wabah corona yang sudah menghampiri Indonesia sejak awal Maret lalu telah membuat wajah perekonomian tanah air menjadi bermuram durja. Secara makro, gambaran ekonomi RI yang suram sedikit tergambar dari sentimen konsumen yang memburuk.
Pada Maret 2020, Bank Indonesia (BI) merilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Posisi IKK pada Maret 2020 masih menunjukkan angka 113 (> 100 artinya optimis). Namun sejak awal tahun, optimisme konsumen Tanah Air terus tergerus dan posisi tersebut merupakan yang terlemah sejak Oktober 2016.
IKK merupakan salah satu leading indicator yang dapat digunakan untuk melihat arah perekonomian dilihat dari segi apakah konsumen akan membelanjakan uangnya atau cenderung menahan.
Jika konsumen cenderung menahan uangnya dan mengurangi belanja maka ekonomi Indonesia bisa lesu darah mengingat porsi konsumsi domestik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) RI mencapai 57% pada 2019.
Wabah corona yang menjangkiti berbagai daerah di Indonesia memang makin ganas. Jumlah kasus yang dilaporkan terus bertambah setiap harinya.
Peningkatan laju yang signifikan membuat sebagian besar wilayah yang merupakan episentrum wabah seperti Jabodetabek mulai menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) selama dua pekan ke depan.
Hal ini tentu akan berakibat pada penurunan konsumsi. Saat corona belum masuk di tanah air saja, penjualan ritel sudah lesu.
Hal ini tercermin dari kontraksi penjualan ritel dua bulan pertama tahun ini masing-masing sebesar -0,3% (yoy) pada Januari dan -0,8% (yoy). BI memperkirakan penjualan ritel bulan Maret akan makin anjlok sebesar 5,4% (yoy).
Kontraksi penjualan terjadi pada seluruh kelompok komoditas yang disurvei, terutama pada subkelompok komoditas Sandang sebesar 45,9% (yoy), lebih dalam dari -40,4% (yoy) pada Februari 2020. Maklum, Maret merupakan awal merebaknya wabah corona di tanah air.
Sejak kasus pertama dilaporkan pada 2 Maret 2020, sekolah-sekolah terutama di DKI Jakarta diliburkan, kantor-kantor juga mulai menerapkan kebijakan social distancing dengan bekerja dari rumah.
Pusat-pusat perbelanjaan juga mulai sepi pengunjung, akibat orang-orang diimbau untuk tetap tinggal di rumah demi menekan penyebaran virus yang makin meluas dan meningkatnya angka infeksi.
Sepinya pengunjung pusat perbelanjaan membuat pendapatan emiten ritel bisa tergerus. Apalagi momennya adalah menjelang puasa, di mana biasanya konsumsi akan terdongkrak.
Emiten ritel yang porsi pendapatannya berasal dari puasa dan lebaran seperti RALS dan LPPF akan benar-benar merasakan getirnya wabah corona karena terancam mengalami penurunan penjualan yang signifikan.
Hal lain yang patut diwaspadai adalah saat wabah corona merebak di dalam negeri, pasar keuangan Tanah Air juga ikut terdampak. Aliran dana keluar besar-besaran terjadi dan rupiah yang sangat bergantung pada hot money pun ikut terpukul.
Nilai tukar rupiah sempat terdepresiasi sebesar 18% sejak awal tahun. Depresiasi rupiah terhadap dolar tentu bisa menggerus margin emiten ritel yang berbasis impor seperti MAPI dan ACES.
Bagaimanapun juga gambaran sektor ritel Indonesia pada kuartal pertama dan kedua tahun ini akan suram. Konsumen akan lebih banyak berbelanja online dengan adanya program PSBB seperti ini.
Hal ini telah dikonfirmasi oleh survei Nielsen baru-baru ini. Sejak kasus corona pertama di Tanah Air diumumkan, konsumen di Indonesia berencana beralih untuk lebih banyak berbelanja secara online ketimbang harus mendatangi toko secara langsung.
Belum bisa dipastikan gambaran suram sektor ritel ini akan berlangsung. Namun jika wabah sudah berhasil dijinakkan dan kondisi berangsur-angsur pulih, maka sentimen konsumen pun akan ikut kembali terdongkrak.
TIM RISET CNBC INDONESIA (twg/twg)
Tak bisa dipungkiri, wabah corona yang sudah menghampiri Indonesia sejak awal Maret lalu telah membuat wajah perekonomian tanah air menjadi bermuram durja. Secara makro, gambaran ekonomi RI yang suram sedikit tergambar dari sentimen konsumen yang memburuk.
Pada Maret 2020, Bank Indonesia (BI) merilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Posisi IKK pada Maret 2020 masih menunjukkan angka 113 (> 100 artinya optimis). Namun sejak awal tahun, optimisme konsumen Tanah Air terus tergerus dan posisi tersebut merupakan yang terlemah sejak Oktober 2016.
IKK merupakan salah satu leading indicator yang dapat digunakan untuk melihat arah perekonomian dilihat dari segi apakah konsumen akan membelanjakan uangnya atau cenderung menahan.
Jika konsumen cenderung menahan uangnya dan mengurangi belanja maka ekonomi Indonesia bisa lesu darah mengingat porsi konsumsi domestik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) RI mencapai 57% pada 2019.
Wabah corona yang menjangkiti berbagai daerah di Indonesia memang makin ganas. Jumlah kasus yang dilaporkan terus bertambah setiap harinya.
Peningkatan laju yang signifikan membuat sebagian besar wilayah yang merupakan episentrum wabah seperti Jabodetabek mulai menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) selama dua pekan ke depan.
Hal ini tentu akan berakibat pada penurunan konsumsi. Saat corona belum masuk di tanah air saja, penjualan ritel sudah lesu.
Hal ini tercermin dari kontraksi penjualan ritel dua bulan pertama tahun ini masing-masing sebesar -0,3% (yoy) pada Januari dan -0,8% (yoy). BI memperkirakan penjualan ritel bulan Maret akan makin anjlok sebesar 5,4% (yoy).
Kontraksi penjualan terjadi pada seluruh kelompok komoditas yang disurvei, terutama pada subkelompok komoditas Sandang sebesar 45,9% (yoy), lebih dalam dari -40,4% (yoy) pada Februari 2020. Maklum, Maret merupakan awal merebaknya wabah corona di tanah air.
Sejak kasus pertama dilaporkan pada 2 Maret 2020, sekolah-sekolah terutama di DKI Jakarta diliburkan, kantor-kantor juga mulai menerapkan kebijakan social distancing dengan bekerja dari rumah.
Pusat-pusat perbelanjaan juga mulai sepi pengunjung, akibat orang-orang diimbau untuk tetap tinggal di rumah demi menekan penyebaran virus yang makin meluas dan meningkatnya angka infeksi.
Sepinya pengunjung pusat perbelanjaan membuat pendapatan emiten ritel bisa tergerus. Apalagi momennya adalah menjelang puasa, di mana biasanya konsumsi akan terdongkrak.
Emiten ritel yang porsi pendapatannya berasal dari puasa dan lebaran seperti RALS dan LPPF akan benar-benar merasakan getirnya wabah corona karena terancam mengalami penurunan penjualan yang signifikan.
Hal lain yang patut diwaspadai adalah saat wabah corona merebak di dalam negeri, pasar keuangan Tanah Air juga ikut terdampak. Aliran dana keluar besar-besaran terjadi dan rupiah yang sangat bergantung pada hot money pun ikut terpukul.
Nilai tukar rupiah sempat terdepresiasi sebesar 18% sejak awal tahun. Depresiasi rupiah terhadap dolar tentu bisa menggerus margin emiten ritel yang berbasis impor seperti MAPI dan ACES.
Bagaimanapun juga gambaran sektor ritel Indonesia pada kuartal pertama dan kedua tahun ini akan suram. Konsumen akan lebih banyak berbelanja online dengan adanya program PSBB seperti ini.
Hal ini telah dikonfirmasi oleh survei Nielsen baru-baru ini. Sejak kasus corona pertama di Tanah Air diumumkan, konsumen di Indonesia berencana beralih untuk lebih banyak berbelanja secara online ketimbang harus mendatangi toko secara langsung.
Belum bisa dipastikan gambaran suram sektor ritel ini akan berlangsung. Namun jika wabah sudah berhasil dijinakkan dan kondisi berangsur-angsur pulih, maka sentimen konsumen pun akan ikut kembali terdongkrak.
TIM RISET CNBC INDONESIA (twg/twg)
Pages
Most Popular