Menakar Potensi Rujuknya Arab-Rusia & Dampaknya ke Pasar

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
09 April 2020 13:37
Menakar Potensi Rujuknya Arab-Rusia & Dampaknya ke Pasar
Foto: REUTERS/Leonhard Foeger
Jakarta, CNBC Indonesia - Nasib minyak mentah dipertaruhkan dalam pertemuan antara negara-negara eksportir minyak bersama koleganya (OPEC+) yang akan dihelat melalui konferensi video malam ini, Kamis (9/4/2020).

Dalam konferensi tersebut rencananya akan membahas pemangkasan produksi minyak di tengah pandemi virus corona (Coronavirus Desease-2019/Covid-19) yang memicu anjloknya permintaan si emas hitam. Ajang ini juga akan mempertemukan pihak-pihak yang berseteru yakni Arab Saudi dan Rusia.

Rusia pada Selasa (7/4/2020) sudah memberikan konfirmasi akan mengikuti pertemuan OPEC+ pada hari ini. Sebelumnya konferensi ini akan diadakan pada 6 April 2020. Namun untuk memberikan waktu negosiasi lebih lama jadi diputuskan untuk ditunda.

Pemicu retaknya hubungan Arab Saudi dengan Rusia adalah gagalnya capai konsensus pada pertemuan OPEC+ awal Maret lalu. Kala itu Arab sebagai pemimpin 'de facto' OPEC mengajukan proposal pemangkasan produksi minyak 1,5 juta barel per hari hingga akhir tahun untuk menstabilkan harga minyak di pasar yang jatuh akibat pandemi.

Namun Rusia menolak gagasan tersebut. Rusia berpandangan bahwa upaya pemangkasan produksi yang terus diperpanjang akan sia-sia ketika Negeri Paman Sam dibiarkan memompa pasokannya terus menerus ke pasar.

Geram dengan alasan tersebut, Arab Saudi memilih mengambil langkah untuk mendiskon harga minyaknya (Official Selling Price/OSP) sebesar 10%. Tak hanya itu Arab bahkan berencana meningkatkan produksi ke kapasitas maksimum sebesar 12 juta bpd pada April setelah perjanjian antara anggota OPEC+ memangkas produksi minyak sebesar 1,7 juta bpd di kuartal I selesai.

Kondisi ini sangat disayangkan oleh banyak pihak. Saat harga minyak terus tergerus akibat penurunan permintaan yang tajam, pasar malah terancam kebanjiran pasokan. Alhasil sempat dalam sehari harga si emas hitam anjlok lebih dari 25%. Pada kuartal pertama pun harga minyak anjlok 65,5% untuk jenis Brent.



Namun untuk pertemuan kali ini kabarnya akan berjalan lebih mulus dibanding pertemuan sebelumnya. Arab-Rusia dan anggota OPEC+ lain dikabarkan semakin dekat dengan kata sepakat untuk pangkas produksi minyak hingga 10 juta barel per hari (bpd) atau setara dengan 10% dari produksi global. Rusia dikabarkan sudah sepakat untuk mengurangi produksi sampai 1,7 juta barel/hari.

Masih belum jelas berapa volume pemangkasan minyak yang disepakati oleh organisasi dan sampai kapan waktunya. Jika mengacu pada anjloknya permintaan minyak akibat pembatasan mobilitas orang, permintaan minyak pada Maret sudah anjlok dalam.

Bank investasi global Goldman Sachs memperkirakan pada Maret saja permintaan minyak global sudah anjlok 10,5 juta bpd. Pada minggu terakhir Maret, Goldman memperkirakan konsumsi minyak dunia turun 26 juta bpd atau setara dengan 25% dari permintaan global.

Lebih lanjut Goldman Sachs memperkirakan permintaan minyak di bulan April akan semakin tertekan dan mengalami kontraksi hingga 18,7 juta bpd pada April ini. Jika OPEC sepakat untuk pangkas produksi minyak sebesar 10-15 juta bpd, setidaknya bisa mengimbangi kejatuhan permintaan minyak kecuali ada skenario buruk yang lain.

Itu pun masih ada potensi oversupply yang cukup besar. Sehingga harga bisa rebound tetapi akan sangat susah untuk kembali ke level di awal tahun.

Namun jika OPEC gagal untuk pangkas produksi di level tersebut alias volume produksi yang dipangkas di bawah itu, maka harga minyak bisa anjlok lagi atau bahkan terjun bebas.

Di sisi lain pertanyaan sampai kapan pemangkasan dilakukan juga akan turut mempengaruhi keseimbangan supply-demand untuk komoditas minyak sendiri. Dalam kasus ini sebenarnya partisipasi dari AS sangat dibutuhkan untuk andil dalam pemangkasan produksi.

Pasalnya tiga negara taipan minyak terbesar di dunia ya siapa lagi kalau bukan AS, Arab Saudi dan Rusia yang sudah berkontribusi kurang lebih sebesar 36% dari total pasokan minyak global



Beberapa analis meyakini dengan penurunan output minyak AS baru-baru ini cukup memuaskan Arab dan Rusia. Namun hal ini masih perlu dipastikan mengingat dalam perang harga antara Arab dan Rusia, AS juga secara tidak langsung diserang agar ikut memangkas produksi minyaknya.

Jadi fokus saat ini ada pada tiga hal tersebut seberapa besar volume pemangkasan produksinya, bagaimana distribusi pemangkasannya hingga sampai kapan ini dilakukan dalam rangka untuk menjaga keseimbangan supply dan demand.

Kalau perundingan malah berjalan dengan alot, tentu bisa ditebak ke mana arah pasar selain bergerak kembali menuju selatan. Harga minyak yang sudah terlampau murah bahkan menyentuh level terendah dalam dua decade terakhir telah membuat industri di sektor perminyakan terpukul.

Pasalnya jika harga minyak anjlok dalam maka margin menjadi tergerus dan aktivitas pengeboran minyak menjadi tidak ekonomis lagi. Ujung-ujungnya industri perminyakan pun sekarat.



Harga minyak di bawah US$ 20/barel mungkin masih bisa diterima oleh Arab Saudi karena biaya produksinya yang murah atau kurang dari US$ 10/barel. Namun bag Rusia dan negara-negara produsen minyak yang lain, ini seolah jadi tanda-tanda kiamat bagi perekonomian mereka yang bertumpu pada komoditas ini.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(twg/twg) Next Article Covid-19 & Pasokan Berlimpah, Harga Minyak Drop 1%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular