
Rupiah Undervalue, Kapan Bisa Menguat Lagi?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
08 April 2020 13:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (8/4/2020) setelah mencatat penguatan tiga hari beruntun. Belum stabilnya sentimen pelaku pasar membuat rupiah kesulitan melanjutkan rally.
Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung melemah 0,31%. Pelemahan terus bertambah hingga 0,65% di Rp 16.230/US$ pada pukul 13:00 WIB. Dalam tiga hari terakhir, rupiah mampu menguat 2,09%.
Penguatan paling besar terjadi Selasa kemarin, sebesar 1,56%, berkat membaiknya sentimen pelaku pasar setelah penyebaran virus corona (COVID-19) mulai melambat.
Dari Eropa, Italia dan Spanyol melaporkan penurunan jumlah korban meninggal per harinya, kemudian Jerman melaporkan penurunan jumlah kasus baru yang signifikan.
Sementara dari AS, jumlah korban meninggal di New York per harinya juga mengalami penurunan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pertumbuhan kasus corona di Negeri Paman Sam pada 7 April adalah 8,62%. Ini menjadi yang terendah sejak 27 Maret, dan jauh di bawah rata-rata laju pertumbuhan selama 24 Januari-7 April yang sebesar 22,17%.
Secara global, WHO menyebutkan dalam kurun waktu 20 Januari-6 April rata-rata pertumbuhan jumlah kasus corona adalah 12.52% per hari. Sejak 24 Maret, pertumbuhan jumlah kasus baru sudah di bawah itu yakni 9,67%. Bahkan dalam delapan hari terakhir hingga 7 April pertumbuhan kasus baru per harinya sudah satu digit persentase.
Selain itu, Bank Indonesia (BI) menyepakati kerja sama repurchase agreement (repo) line dengan bank sentral AS The Fed. Bank Sentral AS nantinya akan menyiapkan stok dolar hingga US$ 60 miliar jika BI membutuhkan.
"Ini bentuknya repo line. Kerja sama dengan bank sentral termasuk BI dengan The Fed. Repo line ini adalah suatu kerja sama untuk kalau BI membutuhkan likuiditas dolar bisa digunakan," kata Perry di Channel Youtube BI, Selasa (7/4/2020).
Perry mengklaim keberhasilan kerja sama ini memberikan keyakinan kepada investor asing.
"Kerja sama The Fed ini hanya dengan sejumlah negara di emerging markets, termasuk RI. Ini bagian dari confidence dari AS kepada Indonesia karena punya prospek bagus baik dari kebijakan dari fiskal dan moneter," tuturnya.
Itu kemarin, hari ini lain lagi ceritanya. Sentimen pelaku pasar sepertinya masih belum stabil ditengah pandemi COVID-19 yang masih belum pasti akan akan berakhirnya, dan seberapa besar dampaknya ke perekonomian global. Yang pasti, semakin lama pandemi ini berlangsung, pertumbuhan ekonomi akan semakin merosot hingga resesi yang semakin dalam.
Belum stabilnya sentimen pelaku pasar membuat pasar kembali volatil, bursa saham AS (Wall Steet) yang menguat tajam di awal perdagangan berakhir melemah tipis pada perdagangan Selasa. Imbasnya, mayoritas bursa saham Asia memerah pada hari ini, dan menjadi kabar kurang bagus bagi pasar keuangan dalam negeri.
Sementara itu, Bahana Sekuritas melihat posisi rupiah di Rp 16.200/US$ masih di bawah nilai fundamentalnya (undervalue) sekitar 8-10%. Dalam rilisnya Bahana melihat saat terjadi pandemi COVID-19 keseimbangan eksternal Indonesia masih lebih bagus ketimbang negara di Asia lainnya, sebabnya pendapatan devisa dari sektor pariwisata yang relative rendah terhadap PDB, eksposur ke rantai pasokan ekspor global yang tidak terlalu besar, serta utang pemerintah dan swasta yang masih di bawah 40% dari PDB.
Oleh sebab itu, Bahana Sekuritas mempertahankan proyeksinya rupiah akan berada di level Rp 13.250/US$. Meski demikian pada bulan Mei dan Juni, rupiah diprediksi masih akan bergerak di kisaran Rp 15.500/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/hps) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung melemah 0,31%. Pelemahan terus bertambah hingga 0,65% di Rp 16.230/US$ pada pukul 13:00 WIB. Dalam tiga hari terakhir, rupiah mampu menguat 2,09%.
Penguatan paling besar terjadi Selasa kemarin, sebesar 1,56%, berkat membaiknya sentimen pelaku pasar setelah penyebaran virus corona (COVID-19) mulai melambat.
Sementara dari AS, jumlah korban meninggal di New York per harinya juga mengalami penurunan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pertumbuhan kasus corona di Negeri Paman Sam pada 7 April adalah 8,62%. Ini menjadi yang terendah sejak 27 Maret, dan jauh di bawah rata-rata laju pertumbuhan selama 24 Januari-7 April yang sebesar 22,17%.
Secara global, WHO menyebutkan dalam kurun waktu 20 Januari-6 April rata-rata pertumbuhan jumlah kasus corona adalah 12.52% per hari. Sejak 24 Maret, pertumbuhan jumlah kasus baru sudah di bawah itu yakni 9,67%. Bahkan dalam delapan hari terakhir hingga 7 April pertumbuhan kasus baru per harinya sudah satu digit persentase.
Selain itu, Bank Indonesia (BI) menyepakati kerja sama repurchase agreement (repo) line dengan bank sentral AS The Fed. Bank Sentral AS nantinya akan menyiapkan stok dolar hingga US$ 60 miliar jika BI membutuhkan.
"Ini bentuknya repo line. Kerja sama dengan bank sentral termasuk BI dengan The Fed. Repo line ini adalah suatu kerja sama untuk kalau BI membutuhkan likuiditas dolar bisa digunakan," kata Perry di Channel Youtube BI, Selasa (7/4/2020).
Perry mengklaim keberhasilan kerja sama ini memberikan keyakinan kepada investor asing.
"Kerja sama The Fed ini hanya dengan sejumlah negara di emerging markets, termasuk RI. Ini bagian dari confidence dari AS kepada Indonesia karena punya prospek bagus baik dari kebijakan dari fiskal dan moneter," tuturnya.
Itu kemarin, hari ini lain lagi ceritanya. Sentimen pelaku pasar sepertinya masih belum stabil ditengah pandemi COVID-19 yang masih belum pasti akan akan berakhirnya, dan seberapa besar dampaknya ke perekonomian global. Yang pasti, semakin lama pandemi ini berlangsung, pertumbuhan ekonomi akan semakin merosot hingga resesi yang semakin dalam.
Belum stabilnya sentimen pelaku pasar membuat pasar kembali volatil, bursa saham AS (Wall Steet) yang menguat tajam di awal perdagangan berakhir melemah tipis pada perdagangan Selasa. Imbasnya, mayoritas bursa saham Asia memerah pada hari ini, dan menjadi kabar kurang bagus bagi pasar keuangan dalam negeri.
Sementara itu, Bahana Sekuritas melihat posisi rupiah di Rp 16.200/US$ masih di bawah nilai fundamentalnya (undervalue) sekitar 8-10%. Dalam rilisnya Bahana melihat saat terjadi pandemi COVID-19 keseimbangan eksternal Indonesia masih lebih bagus ketimbang negara di Asia lainnya, sebabnya pendapatan devisa dari sektor pariwisata yang relative rendah terhadap PDB, eksposur ke rantai pasokan ekspor global yang tidak terlalu besar, serta utang pemerintah dan swasta yang masih di bawah 40% dari PDB.
Oleh sebab itu, Bahana Sekuritas mempertahankan proyeksinya rupiah akan berada di level Rp 13.250/US$. Meski demikian pada bulan Mei dan Juni, rupiah diprediksi masih akan bergerak di kisaran Rp 15.500/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/hps) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular