Kuartal I Penuh Bumbu, Gerak Harga Emas Bak Roller Coaster

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
03 April 2020 18:29
Kuartal I Penuh Bumbu, Gerak Harga Emas Bak Roller Coaster
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam periode tiga bulan pertama tahun 2020, banyak sekali kejutan terjadi. Harga emas pun mengalami volatilitas yang tinggi terutama sejak memasuki bulan Februari.

Pada kuartal pertama tahun ini, harga emas dunia di pasar spot ditutup di US$ 1.571.05/troy ons. Harga emas naik 3,56% secara quarter on quarter (qoq). Walau harga emas pada akhirnya mengalami kenaikan, tetapi perjalanan yang panjang di kuartal ini sempat menghantarkan emas ke level terendah sejak pertengahan Desember.

Tahun lalu harga emas naik 18% karena prospek ekonomi yang suram akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China. Perang dagang membuat rantai pasok global terdisrupsi. Ekonomi global pun goyah.


Kala kondisi ekonomi sedang tak kondusif, investor cenderung berburu aset-aset minim risiko (safe haven) salah satunya emas. Logam mulia ini masuk ke dalam portofolio investor dan berperan sebagai aset untuk lindung nilai (hedging). Tak hanya investor saja yang berburu emas, bank sentral pun juga ikut meramaikan aksi perburuan emas.

Permintaan yang terdongkrak membuat harga emas mengalami penguatan. Bahkan setelah AS dan China menandatangani kesepakatan dagang fase I pada awal tahun ini, harga emas masih tetap menguat.

Ketegangan AS-China boleh jadi agak mengendur. Namun tensi tinggi kini beralih ke poros Washington-Teheran. Awal tahun ini, tepatnya pada 3 Januari 2020, dunia dikejutkan dengan kabar tewasnya Jenderal Karismatik Iran Qassem Soleimani.

Usut punya usut Presiden AS ke-45 Donald Trump adalah dalang dari kematian Sang Jenderal. Trump telah memberi komando untuk membunuh Jenderal yang dianggap teroris dan membahayakan AS tersebut.

Dalam perjalanan menuju Bandara Internasional Baghdad, mobil iring-iringan sang Jenderal terkena serangan pesawat nirawak (drone) milik AS. Di situlah awal mula konflik terjadi. Iran yang geram dan tidak terima dengan perilaku AS sempat membalasnya dengan menghujani pangkalan militer AS di Irak dengan roket katyusha.

Konflik antara keduanya tersebut sempat memicu reaksi heboh publik. Bahkan ada yang sempat menyebut bahwa konflik keduanya bisa berpotensi menjadi penyulut perang dunia ketiga.


Selain itu juga, investor masih kecewa akan detail kesepakatan dagang antara AS-China yang dinilai tidak menyelesaikan poin utama permasalahan dan malah cenderung tidak realistis. Tarif impor juga masih dikenakan atas barang-barang China oleh AS.

Sehingga di tengah ketidakpastian yang tinggi tersebut, harga emas masih punya ruang untuk penguatan.


[Gambas:Video CNBC]



Belum juga konflik selesai, dunia lagi-lagi dihebohkan oleh fenomena biologis yang muncul di China. Pada akhir tahun lalu, di Kota Wuhan, China banyak dilaporkan kasus pneumonia misterius yang diderita oleh puluhan orang.

Pada akhir tahun tepatnya 31 Desember 2019, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan bahwa orang-orang yang terjangkit pneumonia misterius di Wuhan tersebut disebabkan oleh virus corona jenis baru.

Tak butuh waktu yang lama, jumlah orang yang terinfeksi virus corona tersebut di China jumlahnya semakin banyak. Tak hanya di Wuhan saja, virus tersebut juga menyebar ke luar Wuham. Hingga lonjakan kasus secara signifikan terjadi pada 20 Januari.

Tiga hari berselang, pemerintah China memutuskan untuk mengkarantina kota Wuhan dan beberapa kota di dekatnya untuk mengunci agar virus tersebut tidak semakin meluas. Namun sayangnya virus tersebut sudah keluar terlebih dahulu.

Seiring dengan pertambahan kasus di China, jumlah kasus di luar China juga bertambah pelan-pelan. Namun ketika kasus di China sudah mencapai puncaknya, lonjakan kasus signifikan justru terjadi di luar China.

Awal Maret lalu, jumlah kasus di luar China terus bertambah dengan pesat. Jumlah negara yang terjangkit juga terus bertambah. Karena saking cepatnya virus menular dan jumlah negara yang terjangkit banyak, WHO akhirnya memutuskan untuk mendeklarasikan wabah corona yang kemudian diberi nama COVID-19 ini sebagai pandemi.

Sebelum WHO menyematkan status pandemi untuk wabah COVID-19 harga emas terus merangkak naik seiring dengan prospek perekonomian yang kembali buram.

Masalahnya yang diserang bukan hanya manusia tapi juga perekonomian. Apalagi perekonomian yang diserang adalah ekonomi terbesar kedua di dunia dan pusat manufaktur global yakni China. Dampaknya pasti akan dirasakan oleh seantero jagad.

Outlook perekonomian yang suram pun membuat tekanan jual yang masif di pasar saham global. Ketika bursa saham mulai ditinggalkan oleh para investor, harga emas mulai bergejolak tinggi.

Tak jarang emas harus dijual untuk menutup kerugian pada investasi di tempat lain. Namun emas masih mampu bangkit dan sempat mencetak rekor tertingginya dalam 7 tahun pada 9 Maret 2020 di level US$ 1.679,6/troy ons.

Apalagi ada sentimen yang mendukung. Pada 3 Maret lalu secara mengejutkan bank sentral AS, The Fed memangkas suku bunga acuan sebesar 50 basis poin untuk meredam dampak COVID-19 di Amerika melihat jumlah kasus di Negeri Paman Sam juga terus bertambah.

Namun usai pengumuman WHO, pasar saham makin bergerak liar. Kacau pokoknya. Tekanan jual semakin masif. Bahkan Wall Street sempat anjlok 12% dalam sehari dua pekan lalu. Kejadian Black Monday pun terulang lagi. Mau tak mau emas yang sudah cuan banyak akhirnya dilikuidasi untuk menutup margin calls dan kerugian pada investasi yang lain. Pengumuman itu seolah membuat pasar seperti dilanda bencana hebat. Pasar benar-benar porak poranda.

Harga saham ambrol, begitu juga komoditas. Surat utang pemerintah AS bertenor 10 tahun yang awalnya diburu juga ikut dilepas oleh investor. Orang jadi enggan masuk pasar. Sentimen berubah jadi risk off. Cash kembali menjadi idola, dan bukan sembarang cash tetapi dolar AS.

Saking ngerinya tekanan jual yang masif, The Fed bahkan kembali memangkas suku bunga acuan secara agresif sebesar 100 bps ke level 0 – 0,25% pada 17 Maret 2020, maju satu hari dari yang dijadwalkan. The Fed juga memulai program pembelian aset atau yang lebih dikenal dengan quantitative easing (QE) sebesar US$ 700 miliar dan siap membeli obligasi pemerintah AS serta efek beragun aset residensial.



Namun bukannya membuat pasar tenang, investor malah lagi-lagi semakin menjaga jarak dengan pasar. Harga emas pun ikut anjlok. . Pada 19 Maret 2020, harga emas di tutup di bawah level US$ 1.500/troy ons. Artiny hanya dalam kurun waktu 10 hari saja, harga emas sudah merosot tajam lebih dari 10%. Penguatan dolar AS yang signifikan juga berkontribusi dalam menekan harga emas.

Namun pekan lalu, harga emas cukup mendapat tenaga setelah The Fed mengumumkan akan membeli obligasi korporasi dan juga ETF-nya serta QE akan dilakukan dengan nilai tak terbatas. Tak sampai di situ juga, pekan lalu kekhawatiran di pasar juga cukup mereda setelah Senat & DPR AS meloloskan RUU paket stimulus ekonomi AS yang nilainya jumbo.

Paket stimulus ekonomi senilai US$ 2,2 triliun dan program QE tak terbatas serta untuk pertama kalinya bank sentral AS membeli obligasi korporasi merupakan sejarah bagi negeri adidaya seperti AS.



Pasar yang jadi agak kalem membuat investor per lahan-lahan kembali ke pasar. Logam mulia emas pun ikut terkena sentimen positifnya. Walau emas berperan sebagai aset safe haven, harga emas bisa merosot kapan saja. Apalagi kalau pasar saham terkoreksi sangat parah. Kurang lebih itulah kisah logam mulia emas di kuartal pertama tahun ini. Jadi wajar saja kalau harganya bak roller coaster.







TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Harga Emas Makin Kinclong di Tengah Pandemi Covid-19

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular