
BI Sebut Rupiah Bakal ke Rp 15.000/US$, Secara Teknikal Bisa!
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
03 April 2020 08:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah lagi melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (2/4/2020). Pandemi virus corona (COVID-19) yang sudah menunjukkan dampaknya di sektor riil memberikan tekanan bagi rupiah.
Sektor pariwisata RI menjadi yang paling pertama terpukul sejak awal penyebaran (outbreak) COVID-19 di bulan Januari di kota Wuhan, China.
Badan Pusat Statistik (BPS) Rabu (1/4/2020) melaporkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) tercatat 885.067 di bulan Februari. Anjlok 30,42% dibandingkan bulan sebelumnya dan 28,85% dibandingkan periode yang sama pada 2019.
COVID-19 juga sudah menggerogoti sektor manufaktur RI, yang aktivitasnya mengalami kontraksi di bulan Maret.
Aktivitas industri dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur, yang menggambarkan pembelian bahan baku/penolong dan barang modal yang akan digunakan untuk proses produksi pada masa mendatang. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal, di atas 50 berarti industri sedang ekspansif sementara di bawah 50 artinya kontraktif alias mengkerut.
IHS Markit melaporkan PMI Indonesia Maret 2020 adalah 45,3. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 51,9 sekaligus menjadi yang terendah sepanjang sejarah pencatatan PMI yang dimulai pada April 2011.
Itu artinya sektor manufaktur RI sudah mulai menurunkan hingga menghentikan produksinya.
Kondisi seperti ini masih akan berlangsung setidaknya dua bulan ke depan mengingat puncak pandemi COVID-19 di Indonesia diperkirakan pada April dan Mei.
Dengan demikian, pelambatan ekonomi tak bisa dihindarkan. Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan dua skenario untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini. Skenario berat, produk domestic bruto (PDB) diperkirakan tumbuh 2,3%, dan skenario sangat berat PDB diramal berkontraksi 0,4%.
Akibatnya, nilai tukar rupiah sempat melemah 0,67% ke Rp 16.550/US$ Kamis kemarin. Tetapi menjelang penutupan perdagangan rupiah berhasil bangkit setelah Bank Indonesia (BI) menyebut nilai tukar nilai tukar rupiah masih di bawah nilai fundamentalnya (undervalue). Rupiah pada akhirnya mengakhiri perdagangan Kamis dengan melemah tipis 0,18% di Rp 16.470/US$.
"Bahwa kami memandang rupiah yang sekarang undervalue, memadai karena memang risiko global lagi tinggi dan ke depannya akan cenderung stabil bahkan menguat karena akan ada portfolio inflow yang lebih besar," kata Gubernur BI, Perry Warjiyo, Kamis (2/4/2020).
Ya, pelemahan rupiah memang terbilang "keterlaluan", sepanjang kuartal I-2020 ambles lebih dari 17%. Padahal, di bulan Januari rupiah sempat menjadi mata uang dengan kinerja terbaik dunia setelah menguat 2,29% melawan dolar AS di Rp 13.565/US$ pada 24 Januari.
Perry menyebutkan, pihaknya akan terus menstabilkan nilai tukar rupiah melalui triple intervention baik secara spot, DNDF, dan pembelian SBN dari pasar sekunder. Dengan demikian ia meyakini nilai tukar rupiah akan bergerak stabil dan menguat ke level Rp 15.000 per US$ di akhir tahun.
"Dengan langkah bersama kami yakin nilai tukar rupiah tidak hanya stabil tapi bahkan menguat di Rp 15.000 di akhir tahun ini," kata dia.
Penyebab utama merosotnya nilai tukar rupiah adalah arus modal asing keluar (capital outflow) yang sangat besar.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat.
Ketika menjadi mata uang terbaik di dunia di bulan Januari, rupiah menikmati capital inflow di pasar obligasi sebesar Rp 30,16 triliun selama periode akhir 2019 hingga 24 Januari.
Tetapi setelahnya, terjadi capital outflow hingga 145 triliun per akhir Maret, rupiah pun merosot.
Jadi, kunci pergerakan rupiah adalah bagaimana menyakinkan investor asing agar tidak menarik dananya dari Indonesia, atau bahkan bisa masuk kembali.
Kabar bagusnya, upaya pemerintah memerangi COVID-19 dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu No 1/2020).
Dengan Perpu tersebut pemerintah diperkenankan memperlebar defisit anggaran di atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Pemerintah akan menggelontorkan stimulus fiskal lebih dari Rp 400 triliun, yang diperkirakan membuat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 bisa mencapai 5,07% PDB.
Moody's Investors Service menilai kebijakan pemerintah menaikkan defisit APBN terhadap PDB menjadi 5,07% tersebut dapat mempertahankan kepercayaan investor terhadap pemerintah. Ketika investor mulai percaya, maka perlahan aliran modal bisa kembali masuk, dan rupiah perlahan kembali menguat.
Sektor pariwisata RI menjadi yang paling pertama terpukul sejak awal penyebaran (outbreak) COVID-19 di bulan Januari di kota Wuhan, China.
Badan Pusat Statistik (BPS) Rabu (1/4/2020) melaporkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) tercatat 885.067 di bulan Februari. Anjlok 30,42% dibandingkan bulan sebelumnya dan 28,85% dibandingkan periode yang sama pada 2019.
Aktivitas industri dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur, yang menggambarkan pembelian bahan baku/penolong dan barang modal yang akan digunakan untuk proses produksi pada masa mendatang. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal, di atas 50 berarti industri sedang ekspansif sementara di bawah 50 artinya kontraktif alias mengkerut.
IHS Markit melaporkan PMI Indonesia Maret 2020 adalah 45,3. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 51,9 sekaligus menjadi yang terendah sepanjang sejarah pencatatan PMI yang dimulai pada April 2011.
Itu artinya sektor manufaktur RI sudah mulai menurunkan hingga menghentikan produksinya.
Kondisi seperti ini masih akan berlangsung setidaknya dua bulan ke depan mengingat puncak pandemi COVID-19 di Indonesia diperkirakan pada April dan Mei.
Dengan demikian, pelambatan ekonomi tak bisa dihindarkan. Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan dua skenario untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini. Skenario berat, produk domestic bruto (PDB) diperkirakan tumbuh 2,3%, dan skenario sangat berat PDB diramal berkontraksi 0,4%.
Akibatnya, nilai tukar rupiah sempat melemah 0,67% ke Rp 16.550/US$ Kamis kemarin. Tetapi menjelang penutupan perdagangan rupiah berhasil bangkit setelah Bank Indonesia (BI) menyebut nilai tukar nilai tukar rupiah masih di bawah nilai fundamentalnya (undervalue). Rupiah pada akhirnya mengakhiri perdagangan Kamis dengan melemah tipis 0,18% di Rp 16.470/US$.
"Bahwa kami memandang rupiah yang sekarang undervalue, memadai karena memang risiko global lagi tinggi dan ke depannya akan cenderung stabil bahkan menguat karena akan ada portfolio inflow yang lebih besar," kata Gubernur BI, Perry Warjiyo, Kamis (2/4/2020).
Ya, pelemahan rupiah memang terbilang "keterlaluan", sepanjang kuartal I-2020 ambles lebih dari 17%. Padahal, di bulan Januari rupiah sempat menjadi mata uang dengan kinerja terbaik dunia setelah menguat 2,29% melawan dolar AS di Rp 13.565/US$ pada 24 Januari.
Perry menyebutkan, pihaknya akan terus menstabilkan nilai tukar rupiah melalui triple intervention baik secara spot, DNDF, dan pembelian SBN dari pasar sekunder. Dengan demikian ia meyakini nilai tukar rupiah akan bergerak stabil dan menguat ke level Rp 15.000 per US$ di akhir tahun.
"Dengan langkah bersama kami yakin nilai tukar rupiah tidak hanya stabil tapi bahkan menguat di Rp 15.000 di akhir tahun ini," kata dia.
Penyebab utama merosotnya nilai tukar rupiah adalah arus modal asing keluar (capital outflow) yang sangat besar.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat.
Ketika menjadi mata uang terbaik di dunia di bulan Januari, rupiah menikmati capital inflow di pasar obligasi sebesar Rp 30,16 triliun selama periode akhir 2019 hingga 24 Januari.
Tetapi setelahnya, terjadi capital outflow hingga 145 triliun per akhir Maret, rupiah pun merosot.
Jadi, kunci pergerakan rupiah adalah bagaimana menyakinkan investor asing agar tidak menarik dananya dari Indonesia, atau bahkan bisa masuk kembali.
Kabar bagusnya, upaya pemerintah memerangi COVID-19 dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu No 1/2020).
Dengan Perpu tersebut pemerintah diperkenankan memperlebar defisit anggaran di atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Pemerintah akan menggelontorkan stimulus fiskal lebih dari Rp 400 triliun, yang diperkirakan membuat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 bisa mencapai 5,07% PDB.
Moody's Investors Service menilai kebijakan pemerintah menaikkan defisit APBN terhadap PDB menjadi 5,07% tersebut dapat mempertahankan kepercayaan investor terhadap pemerintah. Ketika investor mulai percaya, maka perlahan aliran modal bisa kembali masuk, dan rupiah perlahan kembali menguat.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular