
Jumat Terbaik di Asia, Rupiah Bisa Juara Lagi Pekan Depan?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
29 March 2020 18:05

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di Asia pada perdagangan Jumat (27/3/2020) lalu. Mata uang garuda bahkan membukukan kenaikan tiga hari beruntun.
Semenjak menyentuh level Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998, di awal pekan rupiah terus menguat. Total dalam tiga hari perdagangan (sekali libur Hari Raya Nyepi pada Rabu), total rupiah sudah menguat 2,72%. Hal tersebut bisa menjadi momentum bagus bagi rupiah memasuki pekan depan.
Penguatan rupiah dipicu membaiknya sentimen terhadap risiko pelaku pasar setelah Pemerintah dan Senat AS telah mencapai kata sepakat untuk mengucurkan stimulus jumbo senilai US$ 2 triliun. Pada Jumat waktu AS, Presiden AS Donald Trump menandatangani undang-undang sehingga pemerintah AS bisa menggelontorkan stimulus tersebut guna memerangi Covid-19.
Membaiknya sentiimen pelaku pasar tercermin dari penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) serta penurunan yield obligasi. IHSG pada Jumat mencatat penguatan 4,76% dengan investor asing melalukan aksi beli bersih sebesar Rp 221,32 miliar di pasar reguler dan non reguler. Hari sebelumnya IHSG bahkan melesat lebih dari 10% dengan aksi beli bersih oleh asing sebesar Rp 670,12 miliar.
Sementara itu di pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun turun tajam, sebesar 36,8 basis poin (bps) menjadi 7,907% di hari Jumat. Sehari sebelumnya yield juga mengalami penurunan 4,7 bps.
Sebagai informasi, pergerakan yield berbanding terbaik dengan harganya, ketika yield naik berarti harga sedang turun, sebaliknya ketika yield turun artinya harga sedang naik. Ketika harga naik, itu berarti sedang ada aksi beli di pasar obligasi.
Pergerakan rupiah sangat dipengaruhi oleh arus modal asing (hot money) yang keluar masuk dari RI. Ketika terjadi capital inflow rupiah akan perkasa, sebaliknya saat capital outflow rupiah akan tertekan.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat yang menyebabkan nilai tukarnya merosot.
Oleh karena itu, pada pekan depan pergerakan rupiah akan sangat bergantung dari seberapa bagus sentimen pelaku pasar untuk masuk ke aset-aset berisiko.
Sayangnya, sentimen pelaku pasar sepertinya kembali kurang bagus terlihat dari kembali amblesnya bursa saham AS pada perdagangan Jumat lalu. Indeks Dow Jones ambles 4,1% dan S&P 500 minus 3,4% dan Nasdaq minus 3,7%.
Penyebabnya, jumlah kasus COVID-19 di AS yang melonjak drastis. Negeri Paman Sam kini menjadi pandemi baru COVID-19, jumlah kasusnya sudah melebihi China. Berdasarkan data Johns Hopkins CSSE, jumlah kasus positif di AS kini lebih dari 24.000 orang, dengan 2.191 korban meninggal dunia dan 2.612 sembuh.
Amblesnya bursa saham AS pada perdagangan Jumat tentunya menjadi kabar buruk bagi pasar Asia dan dalam negeri Senin besok. Rupiah berisiko kembali tertekan di awal pekan, tetapi jika sentimen membaik Mata Uang Garuda berpeluang kembali menguat bahkan menembus ke bawah Rp 16.000/US$.
Semenjak menyentuh level Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998, di awal pekan rupiah terus menguat. Total dalam tiga hari perdagangan (sekali libur Hari Raya Nyepi pada Rabu), total rupiah sudah menguat 2,72%. Hal tersebut bisa menjadi momentum bagus bagi rupiah memasuki pekan depan.
Penguatan rupiah dipicu membaiknya sentimen terhadap risiko pelaku pasar setelah Pemerintah dan Senat AS telah mencapai kata sepakat untuk mengucurkan stimulus jumbo senilai US$ 2 triliun. Pada Jumat waktu AS, Presiden AS Donald Trump menandatangani undang-undang sehingga pemerintah AS bisa menggelontorkan stimulus tersebut guna memerangi Covid-19.
Sementara itu di pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun turun tajam, sebesar 36,8 basis poin (bps) menjadi 7,907% di hari Jumat. Sehari sebelumnya yield juga mengalami penurunan 4,7 bps.
Sebagai informasi, pergerakan yield berbanding terbaik dengan harganya, ketika yield naik berarti harga sedang turun, sebaliknya ketika yield turun artinya harga sedang naik. Ketika harga naik, itu berarti sedang ada aksi beli di pasar obligasi.
Pergerakan rupiah sangat dipengaruhi oleh arus modal asing (hot money) yang keluar masuk dari RI. Ketika terjadi capital inflow rupiah akan perkasa, sebaliknya saat capital outflow rupiah akan tertekan.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat yang menyebabkan nilai tukarnya merosot.
Oleh karena itu, pada pekan depan pergerakan rupiah akan sangat bergantung dari seberapa bagus sentimen pelaku pasar untuk masuk ke aset-aset berisiko.
Sayangnya, sentimen pelaku pasar sepertinya kembali kurang bagus terlihat dari kembali amblesnya bursa saham AS pada perdagangan Jumat lalu. Indeks Dow Jones ambles 4,1% dan S&P 500 minus 3,4% dan Nasdaq minus 3,7%.
Penyebabnya, jumlah kasus COVID-19 di AS yang melonjak drastis. Negeri Paman Sam kini menjadi pandemi baru COVID-19, jumlah kasusnya sudah melebihi China. Berdasarkan data Johns Hopkins CSSE, jumlah kasus positif di AS kini lebih dari 24.000 orang, dengan 2.191 korban meninggal dunia dan 2.612 sembuh.
Amblesnya bursa saham AS pada perdagangan Jumat tentunya menjadi kabar buruk bagi pasar Asia dan dalam negeri Senin besok. Rupiah berisiko kembali tertekan di awal pekan, tetapi jika sentimen membaik Mata Uang Garuda berpeluang kembali menguat bahkan menembus ke bawah Rp 16.000/US$.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular