
Harga Batu Bara Naik, Meski Risiko COVID-19 Masih Membayangi
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
18 March 2020 12:38

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara kontrak ICE Newcastle kemarin kembali ditutup menguat dan menandai penguatan beruntun dalam tiga hari perdagangan terakhir. Namun wabah COVID-19 masih menjadi sorotan utama di pasar dengan menjangkiti lebih dari separuh negara di dunia.
Kemarin (17/3/2020) harga batu bara kontrak berjangka ICE Newcastle ditutup menguat 0,3% ke level US$ 66,3/ton. Penguatan yang terjadi memang lebih tipis dibanding penutupan perdagangan sebelumnya yang mencapai 1%.
Wabah COVID-19 yang pertama kali muncul di China telah membuat puluhan kota negara tersebut berada dalam karantina ketat. Hal ini membuat aktivitas ekonomi seperti manufaktur dan pertambangan batu bara menjadi terhenti.
Kini pertambahan jumlah kasus baru di China sudah turun drastis dan mentok di angka 80.000-an sejak awal Maret lalu. Jumlah orang yang dinyatakan sembuh nyaris 70.000, sehingga sisa kasus aktif tinggal 10.000.
Turunnya kasus infeksi COVID-19 di China telah membuat aktivitas ekonomi China perlahan-lahan pulih. Reuters melaporkan warga China sudah mulai berani mengunjungi mall dan restoran.
Data Refinitiv menunjukkan total persediaan batu bara di pelabuhan utama di China bagian utara sampai dengan 13 Maret 2020 mencapai 12,5 juta ton. Angka ini jauh lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 15,8 juta ton (-20,9% yoy).
Sementara itu impor batu bara China sejak awal Maret hingga kemarin tercatat mencapai 10,8 juta ton, naik dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 10,6 juta ton (+1,88% yoy).
Ini menjadi sentimen positif bagi batu bara, mengingat China merupakan konsumen batu bara terbesar di dunia. Saat wabah COVID-19 merebak dan berada pada puncaknya di Februari, aktivitas ekonomi terganggu.
Penurunan aktivitas terutama di sektor manufaktur mengakibatkan konsumsi listrik di China pada dua bulan pertama tahun ini turun 7,8% (year on year/yoy). Dengan turunnya jumlah kasus di China serta kembalinya aktivitas perekonomian ini bisa jadi kabar bagus karena permintaan batu bara bisa perlahan pulih.
Namun apakah impor China akan meningkat drastis sehingga menggairahkan pasar batu bara Asia Pasifik jalur laut (seaborne), ini tergantung pada dua hal. Pertama, seberapa cepat tambang batu bara China beroperasi pada kapasitas penuh. Per awal Maret ini, rata-rata tambang batu bara China sudah beroperasi hingga 80% dari kapasitas maksimumnya.
Jika perbaikan dari sisi operasi terus terjadi dengan laju yang signifikan dan mengimbangi aktivitas ekonomi dan manufaktur, maka kebutuhan batu bara impor akan cenderung tertekan.
Faktor kedua yang juga mempengaruhi kinerja impor batu bara China adalah kebijakan impor batu bara pemerintah China. Jika pemerintah membatasi kuota impor China seperti tahun-tahun sebelumnya, maka ini bukan kabar yang baik untuk pasar batu bara Asia Pasifik.
Kemarin (17/3/2020) harga batu bara kontrak berjangka ICE Newcastle ditutup menguat 0,3% ke level US$ 66,3/ton. Penguatan yang terjadi memang lebih tipis dibanding penutupan perdagangan sebelumnya yang mencapai 1%.
Wabah COVID-19 yang pertama kali muncul di China telah membuat puluhan kota negara tersebut berada dalam karantina ketat. Hal ini membuat aktivitas ekonomi seperti manufaktur dan pertambangan batu bara menjadi terhenti.
Turunnya kasus infeksi COVID-19 di China telah membuat aktivitas ekonomi China perlahan-lahan pulih. Reuters melaporkan warga China sudah mulai berani mengunjungi mall dan restoran.
Data Refinitiv menunjukkan total persediaan batu bara di pelabuhan utama di China bagian utara sampai dengan 13 Maret 2020 mencapai 12,5 juta ton. Angka ini jauh lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 15,8 juta ton (-20,9% yoy).
Sementara itu impor batu bara China sejak awal Maret hingga kemarin tercatat mencapai 10,8 juta ton, naik dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 10,6 juta ton (+1,88% yoy).
Ini menjadi sentimen positif bagi batu bara, mengingat China merupakan konsumen batu bara terbesar di dunia. Saat wabah COVID-19 merebak dan berada pada puncaknya di Februari, aktivitas ekonomi terganggu.
Penurunan aktivitas terutama di sektor manufaktur mengakibatkan konsumsi listrik di China pada dua bulan pertama tahun ini turun 7,8% (year on year/yoy). Dengan turunnya jumlah kasus di China serta kembalinya aktivitas perekonomian ini bisa jadi kabar bagus karena permintaan batu bara bisa perlahan pulih.
Namun apakah impor China akan meningkat drastis sehingga menggairahkan pasar batu bara Asia Pasifik jalur laut (seaborne), ini tergantung pada dua hal. Pertama, seberapa cepat tambang batu bara China beroperasi pada kapasitas penuh. Per awal Maret ini, rata-rata tambang batu bara China sudah beroperasi hingga 80% dari kapasitas maksimumnya.
Jika perbaikan dari sisi operasi terus terjadi dengan laju yang signifikan dan mengimbangi aktivitas ekonomi dan manufaktur, maka kebutuhan batu bara impor akan cenderung tertekan.
Faktor kedua yang juga mempengaruhi kinerja impor batu bara China adalah kebijakan impor batu bara pemerintah China. Jika pemerintah membatasi kuota impor China seperti tahun-tahun sebelumnya, maka ini bukan kabar yang baik untuk pasar batu bara Asia Pasifik.
Next Page
Masih ada Bayang-bayang COVID-19
Pages
Most Popular