
Rupiah Kini Kalah dari Peso, Padahal Argentina 5 Kali Resesi
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 March 2020 12:06

Kebijakan ini berhasil menyelamatkan ribuan nyawa. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa lockdown membuat aktivitas ekonomi menjadi terbatas, bahkan berhenti total.
Ini sudah tercermin di data produksi industri China. Pada Januari-Februari 2020, produksi industri China turun 13,5% year-on-year (YoY). Ini adalah penurunan pertama sejak awal 1990.
Minimnya produksi industri Negeri Tirai Bambu mempengaruhi rantai pasok global. Maklum, China adalah pemain utama di rantai pasok berbagai sektor. Sebut saja, mau elektronik, otomotif, sampai produk pangan didominasi produk made in China.
Penurunan pasokan produk China membuat industri di berbagai negara kekurangan bahan baku/penolong atau barang modal. Akibatnya, output industri dunia turun. Penurunan output industri berpotensi membuat kinerja ekspor ikut turun. Kalau barang yang diproduksi berkurang, mana bisa ekspor banyak-banyak?
Ini membuat neraca perdagangan dan kemudian transaksi berjalan (current account) menjadi terancam. Padahal pos ini adalah penyumbang devisa jangka panjang sehingga menjadi fondasi penting penopang kekuatan mata uang.
Sejak 2011, transaksi berjalan Indonesia masih mengalami defisit. Ini yang membuat fondasi rupiah agak rapuh sehingga rentan melemah. Pasalnya, rupiah tergantung kepada pasokan devisa dari portofolio di sektor keuangan (hot money).
Tahu sendiri bagaimana sifat hot money, bisa datang dan pergi sesuka hati. Fluktuatif, rupiah jadi gampang 'digoyang'.
Kala sentimen di pasar keuangan memburuk akibat serangan virus corona terhadap perekonomian global, arus modal yang masuk ke Indonesia menjadi mampet. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih (net sell) Rp 7,54 triliun secara YtD. Sedangkan di pasar obligasi pemerintah, kepemilikan asing berkurang Rp 57,88 triliun dalam periode yang sama.
Dengan prospek ekspor yang agak suram plus seretnya arus hot money, posisi rupiah menjadi terdesak. Akibatnya, rupiah yang semula begitu perkasa kini berbalik nelangsa.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Ini sudah tercermin di data produksi industri China. Pada Januari-Februari 2020, produksi industri China turun 13,5% year-on-year (YoY). Ini adalah penurunan pertama sejak awal 1990.
Penurunan pasokan produk China membuat industri di berbagai negara kekurangan bahan baku/penolong atau barang modal. Akibatnya, output industri dunia turun. Penurunan output industri berpotensi membuat kinerja ekspor ikut turun. Kalau barang yang diproduksi berkurang, mana bisa ekspor banyak-banyak?
Ini membuat neraca perdagangan dan kemudian transaksi berjalan (current account) menjadi terancam. Padahal pos ini adalah penyumbang devisa jangka panjang sehingga menjadi fondasi penting penopang kekuatan mata uang.
Sejak 2011, transaksi berjalan Indonesia masih mengalami defisit. Ini yang membuat fondasi rupiah agak rapuh sehingga rentan melemah. Pasalnya, rupiah tergantung kepada pasokan devisa dari portofolio di sektor keuangan (hot money).
Tahu sendiri bagaimana sifat hot money, bisa datang dan pergi sesuka hati. Fluktuatif, rupiah jadi gampang 'digoyang'.
Kala sentimen di pasar keuangan memburuk akibat serangan virus corona terhadap perekonomian global, arus modal yang masuk ke Indonesia menjadi mampet. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih (net sell) Rp 7,54 triliun secara YtD. Sedangkan di pasar obligasi pemerintah, kepemilikan asing berkurang Rp 57,88 triliun dalam periode yang sama.
Dengan prospek ekspor yang agak suram plus seretnya arus hot money, posisi rupiah menjadi terdesak. Akibatnya, rupiah yang semula begitu perkasa kini berbalik nelangsa.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular