
Diwarnai Halt Trading, IHSG Ambles Terendah Sejak Juni 2016
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 March 2020 17:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali anjlok pada perdagangan Kamis (12/3/2020) hingga ke bawah level 5.000.
Perdagangan dihentikan lebih awal setelah IHSG anjlok lebih dari 5% pada pukul 15:33 WIB. Sesuai dengan kebijakan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perdagangan bursa saham akan dihentikan selama 30 menit (trading halt) jika IHSG anjlok 5% atau lebih, sebagai langkah antisipasi dalam mengurangi fluktuasi tajam di pasar modal.
Itu artinya, perdagangan IHSG yang seharusnya berakhir pada pukul 16:00 WIB, langsung ditutup setelah terjadi trading halt sejak pukul 15:33 WIB.
Begitu perdagangan hari ini dibuka, IHSG langsung anjlok 2,2%. Depresiasi IHSG terus berlanjut hingga 4,63% ke 4.929,563. Level tersebut menjadi yang terlemah di perdagangan sesi I. IHSG berhasil memperbaiki posisinya, dan mengakhiri perdagangan sesi I di level 5.002,559 melemah 2,94%.
Memasuki perdagangan sesi II, kinerja IHSG kembali memburuk. Kemerosotan terus berlanjut hingga 5,01% ke 4.895,784, sekaligus memicu trading halt hingga perdagangan berakhir. Posisi terakhir IHSG tersebut merupakan yang terendah sejak 28 Juni 2016.
Penghentian perdagangan di BEI sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi di bursa saham Indonesia. Namun untuk trading halt, baru pertama kali terjadi dalam sejarah pasar modal Indonesia.
Ada dua peristiwa sebelumnya yang sempat membuat perdagangan di BEI dihentikan. Namun dua peristiwa tersebut dihentikan dalam konteks suspensi atau dihentikan hingga penutupan perdagangan dalam satu hari.
Memburuknya sentimen pelaku pasar setelah setelah Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menetapkan wabah virus corona atau COVID-19 sebagai pandemic menjadi pemicu aksi jual di bursa saham, tidak hanya di Indonesia tetapi secara global.
Situasi yang disebut pandemi oleh WHO adalah ketika suatu penyakit menyebar luas ke berbagai penjuru dunia dengan laju yang sangat cepat.
"Dalam dua minggu terakhir, jumlah kasus COVID-19 di luar China telah meningkat 13 kali lipat, dan jumlah negara yang terkena dampak telah meningkat tiga kali lipat," kata kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.
"Karena itu kami telah membuat penilaian bahwa COVID-19 dapat dikategorikan sebagai pandemi" tegasnya.
"Pandemi bukan kata yang mudah, atau digunakan secara gegabah. Itu adalah kata yang jika disalahgunakan dapat menimbulkan ketakutan yang tidak masuk akal, atau merasa pertarungan sudah berakhir, yang membawa pada penderitaan dan kematian yang tidak seharusnya terjadi" kata Tedros.
Setelah penetapan tersebut, bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street langsung jeblok. Indeks Dow Jones ambles nyaris 6%, sementara S&P 500 dan Nasdaq nyaris 5%.
Selain penetapan wabah corona sebagai pandemi, aksi jual di Wall Street juga terjadi akibat kurangnya detail stimulus fiskal yang akan diberikan oleh Presiden AS, Donald Trump. Pada Selasa lalu, Presiden Trump berencana untuk memotong Pajak Penghasilan (PPh) menjadi 0% alias tidak dikenakan pajak untuk sementara waktu. Proposal tersebut saat ini masih berada di Kongres AS untuk mendapat persetujuan.
Dalam pidatonya hari ini, Presiden Trump mendesak Kongres untuk segera menyetujui pemangkasan PPh tersebut.
"Saya menyerukan kepada Kongres untuk memberikan orang Amerika bantuan pajak penghasilan, segera. Mudah-mudahan, mereka akan mempertimbangkan ini dengan sangat kuat," kata Trump dalam pidatonya, dikutip AFP, Kamis (12/3/2020).
Aksi jual di Wall Street merembet ke bursa Asia hari ini, indeks Nikkei Jepang ambles lebih dari 4%, kemudian Kospi Korea Selatan dan Hang Seng Hong Kong lebih dari 3%, sementara Shanghai Composite 1,5%.
Yang paling ditakutkan pelaku pasar adalah pelambatan ekonomi yang ditimbulkan pandemi COVID-19. S&P Global dalam sebuah laporannya dipublikasikan pada Jumat (6/3/2020) menuliskan virus corona dapat menimbulkan kerugian pada perekonomian Asia Pasifik sebesar US$ 211 miliar.
Australia, Hong Kong, Singapura, Jepang, Korea Selatan dan Thailand diprediksi terancam terseret ke dalam jurang resesi, menurut S&P. Lembaga tersebut juga merevisi turun perkiraan pertumbuhan ekonomi China untuk 2020 dari 5,7% menjadi 4,8%.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, sebelumnya sempat menyatakan jika perekonomian China terpangkas 1 poin persentase, maka ekonomi Indonesia berisiko terpangkas 0,3-0,6 poin persentase.
Itu baru China, belum melihat negara-negara lain yang memiliki hubungan dagang yang besar dengan Indonesia seperti Singapura, Jepang, dan Korea Selatan yang juga diprediksi mengalami pelambatan ekonomi hingga resesi. Tekanan bagi ekonomi Indonesia tentunya semakin besar, sehingga aksi jual di bursa saham dalam negeri tak terhindarkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article IHSG Jebol Nyaris 3%, Perdagangan Akan Dihentikan?
Perdagangan dihentikan lebih awal setelah IHSG anjlok lebih dari 5% pada pukul 15:33 WIB. Sesuai dengan kebijakan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perdagangan bursa saham akan dihentikan selama 30 menit (trading halt) jika IHSG anjlok 5% atau lebih, sebagai langkah antisipasi dalam mengurangi fluktuasi tajam di pasar modal.
Itu artinya, perdagangan IHSG yang seharusnya berakhir pada pukul 16:00 WIB, langsung ditutup setelah terjadi trading halt sejak pukul 15:33 WIB.
Memasuki perdagangan sesi II, kinerja IHSG kembali memburuk. Kemerosotan terus berlanjut hingga 5,01% ke 4.895,784, sekaligus memicu trading halt hingga perdagangan berakhir. Posisi terakhir IHSG tersebut merupakan yang terendah sejak 28 Juni 2016.
Penghentian perdagangan di BEI sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi di bursa saham Indonesia. Namun untuk trading halt, baru pertama kali terjadi dalam sejarah pasar modal Indonesia.
![]() |
Ada dua peristiwa sebelumnya yang sempat membuat perdagangan di BEI dihentikan. Namun dua peristiwa tersebut dihentikan dalam konteks suspensi atau dihentikan hingga penutupan perdagangan dalam satu hari.
Memburuknya sentimen pelaku pasar setelah setelah Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menetapkan wabah virus corona atau COVID-19 sebagai pandemic menjadi pemicu aksi jual di bursa saham, tidak hanya di Indonesia tetapi secara global.
Situasi yang disebut pandemi oleh WHO adalah ketika suatu penyakit menyebar luas ke berbagai penjuru dunia dengan laju yang sangat cepat.
"Dalam dua minggu terakhir, jumlah kasus COVID-19 di luar China telah meningkat 13 kali lipat, dan jumlah negara yang terkena dampak telah meningkat tiga kali lipat," kata kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.
"Karena itu kami telah membuat penilaian bahwa COVID-19 dapat dikategorikan sebagai pandemi" tegasnya.
"Pandemi bukan kata yang mudah, atau digunakan secara gegabah. Itu adalah kata yang jika disalahgunakan dapat menimbulkan ketakutan yang tidak masuk akal, atau merasa pertarungan sudah berakhir, yang membawa pada penderitaan dan kematian yang tidak seharusnya terjadi" kata Tedros.
Setelah penetapan tersebut, bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street langsung jeblok. Indeks Dow Jones ambles nyaris 6%, sementara S&P 500 dan Nasdaq nyaris 5%.
Selain penetapan wabah corona sebagai pandemi, aksi jual di Wall Street juga terjadi akibat kurangnya detail stimulus fiskal yang akan diberikan oleh Presiden AS, Donald Trump. Pada Selasa lalu, Presiden Trump berencana untuk memotong Pajak Penghasilan (PPh) menjadi 0% alias tidak dikenakan pajak untuk sementara waktu. Proposal tersebut saat ini masih berada di Kongres AS untuk mendapat persetujuan.
Dalam pidatonya hari ini, Presiden Trump mendesak Kongres untuk segera menyetujui pemangkasan PPh tersebut.
"Saya menyerukan kepada Kongres untuk memberikan orang Amerika bantuan pajak penghasilan, segera. Mudah-mudahan, mereka akan mempertimbangkan ini dengan sangat kuat," kata Trump dalam pidatonya, dikutip AFP, Kamis (12/3/2020).
Aksi jual di Wall Street merembet ke bursa Asia hari ini, indeks Nikkei Jepang ambles lebih dari 4%, kemudian Kospi Korea Selatan dan Hang Seng Hong Kong lebih dari 3%, sementara Shanghai Composite 1,5%.
Yang paling ditakutkan pelaku pasar adalah pelambatan ekonomi yang ditimbulkan pandemi COVID-19. S&P Global dalam sebuah laporannya dipublikasikan pada Jumat (6/3/2020) menuliskan virus corona dapat menimbulkan kerugian pada perekonomian Asia Pasifik sebesar US$ 211 miliar.
Australia, Hong Kong, Singapura, Jepang, Korea Selatan dan Thailand diprediksi terancam terseret ke dalam jurang resesi, menurut S&P. Lembaga tersebut juga merevisi turun perkiraan pertumbuhan ekonomi China untuk 2020 dari 5,7% menjadi 4,8%.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, sebelumnya sempat menyatakan jika perekonomian China terpangkas 1 poin persentase, maka ekonomi Indonesia berisiko terpangkas 0,3-0,6 poin persentase.
Itu baru China, belum melihat negara-negara lain yang memiliki hubungan dagang yang besar dengan Indonesia seperti Singapura, Jepang, dan Korea Selatan yang juga diprediksi mengalami pelambatan ekonomi hingga resesi. Tekanan bagi ekonomi Indonesia tentunya semakin besar, sehingga aksi jual di bursa saham dalam negeri tak terhindarkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article IHSG Jebol Nyaris 3%, Perdagangan Akan Dihentikan?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular