
Tembus Rp 14.510/US$, Rupiah Terpuruk Sejak 10 Bulan
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 March 2020 14:57

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah babak belur melawan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan ini. Pada perdagangan Kamis (12/3/2020) rupiah melemah 1,19% ke Rp 14.510/US$. Level tersebut merupakan yang terlemah dalam 10 bulan terakhir, atau tepatnya sejak 23 Mei 2019.
Sepanjang pekan ini rupiah sudah melemah lebih dari 2% akibat memburuknya sentimen pelaku pasar setelah wabah virus corona menyebar dengan cepat di luar China.
Sentimen pelaku pasar semakin memburuk pada hari ini yang menyebabkan aliran modal keluar dari pasar keuangan dalam negeri.
Berdasarkan data RTI, sepanjang perdagangan sesi I, investor asing melakukan aksi jual bersih di Bursa Efek Indonesia (BEI) sebesar Rp 233,66 miliar. Sementara di pasar obligasi, aksi jual juga tercermin dari kenaikan imbal hasil atau yield. Yield obligasi tenor 10 tahun hingga siang ini naik 17,8 basis poin (bps) menjadi 7,57%. Yield tersebut menjadi yang tertinggi sejak 23 Desember 2019.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun. Saat harga sedang turun, itu artinya sedang terjadi aksi jual di pasar obligasi.
Outflow tersebut terjadi setelah wabah virus corona atau COVID-19 ditetapkan menjadi pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
Situasi yang disebut pandemi oleh WHO adalah ketika suatu penyakit menyebar luas ke berbagai penjuru dunia dengan laju yang sangat cepat.
Yang paling ditakutkan pelaku pasar adalah pelambatan ekonomi yang ditimbulkan pandemi COVID-19. Hal tersebut berbanding terbalik dengan awal tahun ini, ketika pelaku pasar optimistis pertumbuhan ekonomi global di tahun ini akan lebih baik dibandingkan tahun lalu.
Ketika itu rupiah berjaya, aliran modal mengalir deras ke dalam negeri. Investor masuk ke aset-aset dengan imbal hasil tinggi, dan rupiah menguat 2,29% sejak akhir 2019 hingga 24 Januari 2020. Rupiah pun menyandang status juara dunia, alias mata uang dengan kinerja terbaik melawan dolar AS.
Situasi langsung berubah setelah muncul wabah virus corona, pertumbuhan ekonomi global diprediksi melambat cukup signifikan.
S&P Global dalam sebuah laporannya dipublikasikan pada Jumat (6/3/2020) menuliskan virus corona dapat menimbulkan kerugian pada perekonomian Asia Pasifik sebesar US$ 211 miliar.
Australia, Hong Kong, Singapura, Jepang, Korea Selatan dan Thailand diprediksi terancam terseret ke dalam jurang resesi, menurut S&P. Lembaga tersebut juga merevisi turun perkiraan pertumbuhan ekonomi China untuk 2020 dari 5,7% menjadi 4,8%.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, sebelumnya sempat menyatakan jika perekonomian China terpangkas 1 poin persentase, maka ekonomi Indonesia berisiko terpangkas 0,3-0,6 poin persentase.
Itu baru China, belum melihat negara-negara lain yang memiliki hubungan dagang yang besar dengan Indonesia seperti Singapura, Jepang, dan Korea Selatan yang juga diprediksi mengalami pelambatan ekonomi hingga resesi. Tekanan bagi ekonomi Indonesia tentunya semakin besar, dampaknya rupiah terus mengalami tekanan. Sejak akhir 2019 hingga hari ini atau secara year-to-date tercatat melemah 4,51%
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Sepanjang pekan ini rupiah sudah melemah lebih dari 2% akibat memburuknya sentimen pelaku pasar setelah wabah virus corona menyebar dengan cepat di luar China.
Sentimen pelaku pasar semakin memburuk pada hari ini yang menyebabkan aliran modal keluar dari pasar keuangan dalam negeri.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun. Saat harga sedang turun, itu artinya sedang terjadi aksi jual di pasar obligasi.
Outflow tersebut terjadi setelah wabah virus corona atau COVID-19 ditetapkan menjadi pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
Situasi yang disebut pandemi oleh WHO adalah ketika suatu penyakit menyebar luas ke berbagai penjuru dunia dengan laju yang sangat cepat.
Yang paling ditakutkan pelaku pasar adalah pelambatan ekonomi yang ditimbulkan pandemi COVID-19. Hal tersebut berbanding terbalik dengan awal tahun ini, ketika pelaku pasar optimistis pertumbuhan ekonomi global di tahun ini akan lebih baik dibandingkan tahun lalu.
Ketika itu rupiah berjaya, aliran modal mengalir deras ke dalam negeri. Investor masuk ke aset-aset dengan imbal hasil tinggi, dan rupiah menguat 2,29% sejak akhir 2019 hingga 24 Januari 2020. Rupiah pun menyandang status juara dunia, alias mata uang dengan kinerja terbaik melawan dolar AS.
Situasi langsung berubah setelah muncul wabah virus corona, pertumbuhan ekonomi global diprediksi melambat cukup signifikan.
S&P Global dalam sebuah laporannya dipublikasikan pada Jumat (6/3/2020) menuliskan virus corona dapat menimbulkan kerugian pada perekonomian Asia Pasifik sebesar US$ 211 miliar.
Australia, Hong Kong, Singapura, Jepang, Korea Selatan dan Thailand diprediksi terancam terseret ke dalam jurang resesi, menurut S&P. Lembaga tersebut juga merevisi turun perkiraan pertumbuhan ekonomi China untuk 2020 dari 5,7% menjadi 4,8%.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, sebelumnya sempat menyatakan jika perekonomian China terpangkas 1 poin persentase, maka ekonomi Indonesia berisiko terpangkas 0,3-0,6 poin persentase.
Itu baru China, belum melihat negara-negara lain yang memiliki hubungan dagang yang besar dengan Indonesia seperti Singapura, Jepang, dan Korea Selatan yang juga diprediksi mengalami pelambatan ekonomi hingga resesi. Tekanan bagi ekonomi Indonesia tentunya semakin besar, dampaknya rupiah terus mengalami tekanan. Sejak akhir 2019 hingga hari ini atau secara year-to-date tercatat melemah 4,51%
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular