Corona & Penjualan Loyo, Saham Emiten Ritel Rontok

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
12 March 2020 07:33
Corona & Penjualan Loyo, Saham Emiten Ritel Rontok
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Saham-saham emiten ritel rontok sejak awal tahun seiring dengan anjloknya bursa saham tanah air akibat wabah corona yang menjangkiti lebih dari separuh negara di dunia.

Empat dari tujuh saham emiten ritel tanah air membukukan kinerja lebih buruk dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Keempat saham tersebut adalah saham PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS), PT Mitra Adi Perkasa Tbk (MAPI), PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) dan PT Matahari Department Store Tbk (LPPF). Empat saham tersebut sudah terkoreksi lebih dari 25% sejak awal tahun.

Sementara itu, tiga saham emiten ritel yang walau terkoreksi masih mencatatkan kinerja lebih baik ketimbang IHSG adalah PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA), PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) dan PT Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES). ACES menjadi emiten ritel yang sahamnya terkoreksi paling tipis di antara yang lain.




Jatuhnya IHSG mengekor bursa saham global yang kebakaran akibat merebaknya wabah corona. Data kompilasi John Hopkins CSSE menunjukkan jumlah kasus infeksi COVID-19 sampai dengan hari ini sudah melebihi 119.000 dan menewaskan 4.289 orang di lebih dari 100 negara.

Di Indonesia sudah ada 34 orang yang dinyatakan positif terinfeksi corona dan sudah ada satu orang yang meninggal dunia yang merupakan warga negara asing (WNA). Bursa saham tanah air dibuat kocar-kacir akibat wabah virus ini.

Faktor lain yang juga turut membuat harga saham-saham emiten ritel adalah rilis data penjualan ritel versi Bank Indonesia yang tidak memuaskan di sepanjang tahun lalu. Pertumbuhan penjualan ritel cenderung melambat pada semester kedua tahun lalu jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018.

Perlambatan penjualan ritel masih terasa di dua bulan awal tahun ini. Berdasarkan Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dirilis BI, angka Indeks Penjualan Riil (IPR) pada bulan Januari 2020 tercatat sebesar 217,5 atau turun 0,3% secara tahunan (yoy) dan turun 7,5% secara bulanan (mtm)



Penurunan ini terjadi karena kontraksi pada penjualan sub kelompok komoditas sandang yang turun sebesar 27,5% (yoy) turun dari sebelumnya 0,7% (yoy) pada Desember tahun lalu.

Selain itu penjualan barang kelompok suku cadang dan aksesoris juga tumbuh melambat dari 15,7% (yoy) pada Desember 2019 menjadi 6,2% (yoy) pada Januari 2020.

Penjualan eceran periode Februari 2020 diperkirakan masih dalam kondisi terkontraksi dan makin dalam. Hal ini terindikasi dari angka IPR yang berada di level 214atau turun 1,9% (yoy) lebih dalam dari 0,3% (yoy) pada Januari 2020.

[Gambas:Video CNBC]



Perlambatan pertumbuhan penjualan ritel ini bisa jadi indikator daya beli masyarakat Indonesia yang melemah. Dugaan ini dikonfirmasi dengan dua data utama yakni pelemahan inflasi dan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Untuk melihat daya beli masyarakat, indikator yang kerap kali digunakan adalah inflasi inti. Laju inflasi inti di sepanjang 2019 tumbuh melambat 3,02% dibanding tahun 2018 yang dapat tumbuh sebesar 3,07%. 


Inflasi inti mencerminkan kelompok barang yang harganya susah naik. Kala inflasi inti terkerek naik, artinya konsumen masih mau membayar lebih tinggi untuk barang dan jasa yang sebenarnya harganya sukar naik. Ini menjadi cerminan daya beli yang sehat. 

Namun pada 2019, terlihat ada sedikit perlambatan inflasi inti. Artinya, harus diakui bahwa konsumsi rumah tangga sedang tidak baik-baik saja.

Indikator kedua yang mencerminkan terjadinya pelemahan daya beli masyarakat Indonesia adalah penurunan penerimaan PPN sebesar 0,8% (yoy) pada 2019.

PPN adalah pajak yang dibayarkan atas segala transaksi dengan tarif 10%. Penurunan setoran PPN menggambarkan bahwa transaksi di perekonomian nasional memang berkurang. Ini artinya konsumsi masyarakat sedang lesu. Kedua indikator tersebut memang sudah terlihat sejak tahun lalu.

Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) juga menjadi indikator lain yang bisa digunakan. IKK versi Bank Indonesia untuk bulan Februari tahun ini berada di angka 117,7. Angka di atas 100 menunjukkan konsumen masih optimis dalam memandang perekonomian. Namun optimisme tersebut terus tergerus sejak Januari.



Penjualan ritel yang tumbuh melambat karena ada indikasi pelemahan daya beli di tengah merebaknya wabah corona yang menggerus optimisme konsumen memandang perekonomian jelas menjadi sentimen yang membebani pergerakan harga saham emiten ritel tanah air.



TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular