
Bosan Lihat yang Merah, Bursa Saham Asia Mulai Hijau
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 March 2020 08:44

Selain kecemasan terhadap penyebaran virus corona, muncul ketidakpastian baru yaitu fluktuasi harga minyak. Penurunan harga minyak sempat begitu tajam. Hingga mencapai titik terendah sejak 2016.
Harga si emas hitam ambrol setelah Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) dan Rusia gagal menyepakati tambahan pemangkasan produksi. Saat ini sudah ada kesepakatan untuk mengurangi produksi minyak sebanyak 2,1 juta barel/hari. OPEC, dengan Arab Saudi sebagai pemimpin de facto, ingin ada tambahan pemotongan 1,5 juta barel/hari sehingga totalnya menjadi 3,6 juta barel/hari.
Rusia menolak rencana tambahan tersebut. Langkah ini sepertinya membuat OPEC (baca: Arab Saudi) ngambek, sehingga ogah memperpanjang pemangkasan produksi 2,1 juta barel/hari yang akan berakhir bulan ini.
Tidak hanya itu, Arab Saudi juga menaikkan produksi minyak plus memberi harga diskon. Sepertinya Riyadh sedang menantang para rivalnya, siapa yang paling kuat bertahan dengan harga minyak rendah. Terjadilah apa yang disebut perang harga minyak.
"Dengan penurunan harga minyak, mengingat Amerika Serikat (AS) adalah negara net eksportir, investor bertanya-tanya. Apakah AS bisa masuk ke jurang resesi pada kuartal II?" kata Oliver Pursche, Chief Market Strategist di Bruderman Asset Management yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.
Anjloknya harga minyak plus penyebaran virus corona yang semakin luas diperkirakan membuat pasar saham AS terkoreksi lebih dalam. Saat ini, DJIA terkoreksi 16,42% secara year-to-date. Selama periode yang sama, S&P 500 ambruk 14,8% dan Nasdaq minus 11,18%.
"Kami memperkirakan koreksi sekitar 20% di pasar saham tahun ini. Kita sedang terjun bebas dari gedung 20 lantai, sekarang baru sampai lantai 10," kata John Lekas, CEO di Leader Capital, seperti dikutip dari Reuters.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Harga si emas hitam ambrol setelah Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) dan Rusia gagal menyepakati tambahan pemangkasan produksi. Saat ini sudah ada kesepakatan untuk mengurangi produksi minyak sebanyak 2,1 juta barel/hari. OPEC, dengan Arab Saudi sebagai pemimpin de facto, ingin ada tambahan pemotongan 1,5 juta barel/hari sehingga totalnya menjadi 3,6 juta barel/hari.
Rusia menolak rencana tambahan tersebut. Langkah ini sepertinya membuat OPEC (baca: Arab Saudi) ngambek, sehingga ogah memperpanjang pemangkasan produksi 2,1 juta barel/hari yang akan berakhir bulan ini.
"Dengan penurunan harga minyak, mengingat Amerika Serikat (AS) adalah negara net eksportir, investor bertanya-tanya. Apakah AS bisa masuk ke jurang resesi pada kuartal II?" kata Oliver Pursche, Chief Market Strategist di Bruderman Asset Management yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.
Anjloknya harga minyak plus penyebaran virus corona yang semakin luas diperkirakan membuat pasar saham AS terkoreksi lebih dalam. Saat ini, DJIA terkoreksi 16,42% secara year-to-date. Selama periode yang sama, S&P 500 ambruk 14,8% dan Nasdaq minus 11,18%.
"Kami memperkirakan koreksi sekitar 20% di pasar saham tahun ini. Kita sedang terjun bebas dari gedung 20 lantai, sekarang baru sampai lantai 10," kata John Lekas, CEO di Leader Capital, seperti dikutip dari Reuters.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular