Bosan Lihat yang Merah, Bursa Saham Asia Mulai Hijau

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 March 2020 08:44
Bosan Lihat yang Merah, Bursa Saham Asia Mulai Hijau
Ilustrasi Bursa Saha Hong Kong (REUTERS/Bobby Yip)
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Asia bergerak variatif pada perdagangan pagi ini. Masih ada yang melemah, tetapi tidak separah kemarin. Bahkan beberapa sudah ada yang hijau.

Pada Selasa (10/2/2020) pukul 08:43 WIB, berikut perkembangan indeks saham utama Asia:



Dini hari tadi waktu Indonesia, terjadi tragedi di bursa saham New York Tiga indeks utama ditutup melemah parah di mana Dow Jones Industrial Avarage (DJIA) ambles 7,79%, S&P 500 ambrol 7,6%, dan Nasdaq Composite anjlok 7,29%. Ini adalah koreksi harian terdalam sejak akhir 2008, kala AS bergelut dengan krisis keuangan dan ekonomi.


Investor memang panik. Ada dua kekhawatiran yang mendominasi pasar. Pertama tentu penyebaran virus corona yang semakin mengkhawatirkan.

Mengutip data satelit pemetaan ArcGis per pukul 07:13 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia sudah mencapai 113.583. Korban jiwa sudah mendekati 4.000 orang, tepatnya 3.996 orang.

"Sekarang dengan semakin banyaknya negara yang terjangkit virus ini, maka ancaman pandemi menjadi sangat nyata. Namun ini adalah pandemi yang bisa dikendalikan. Intinya adalah, kita tidak akan kalah," tegas Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), seperti diwartakan Reuters.

Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa penyebaran virus corona membuat risiko resesi menjadi semakin tinggi. Hal ini tergambar dari riset Moody's Analytics.

"Risiko ekonomi global meningkat seiring dengan jumlah negara dan penderita virus corona yang terus bertambah. Sentimen yang ada saat ini sangat rentan, baik bagi dunia usaha maupun konsumen.

"Ekonomi global sebelumnya masih lemah, belum tumbuh sesuai potensinya, sehingga COVID-19 menjadi pukulan keras. Rumah tangga sudah merasakan dampaknya, panic buying membuat daya beli malah menurun," papar riset Moody's Analytics.



Selain kecemasan terhadap penyebaran virus corona, muncul ketidakpastian baru yaitu fluktuasi harga minyak. Penurunan harga minyak sempat begitu tajam. Hingga mencapai titik terendah sejak 2016.

Harga si emas hitam ambrol setelah Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) dan Rusia gagal menyepakati tambahan pemangkasan produksi. Saat ini sudah ada kesepakatan untuk mengurangi produksi minyak sebanyak 2,1 juta barel/hari. OPEC, dengan Arab Saudi sebagai pemimpin de facto, ingin ada tambahan pemotongan 1,5 juta barel/hari sehingga totalnya menjadi 3,6 juta barel/hari.

Rusia menolak rencana tambahan tersebut. Langkah ini sepertinya membuat OPEC (baca: Arab Saudi) ngambek, sehingga ogah memperpanjang pemangkasan produksi 2,1 juta barel/hari yang akan berakhir bulan ini.

Tidak hanya itu, Arab Saudi juga menaikkan produksi minyak plus memberi harga diskon. Sepertinya Riyadh sedang menantang para rivalnya, siapa yang paling kuat bertahan dengan harga minyak rendah. Terjadilah apa yang disebut perang harga minyak.


"Dengan penurunan harga minyak, mengingat Amerika Serikat (AS) adalah negara net eksportir, investor bertanya-tanya. Apakah AS bisa masuk ke jurang resesi pada kuartal II?" kata Oliver Pursche, Chief Market Strategist di Bruderman Asset Management yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.

Anjloknya harga minyak plus penyebaran virus corona yang semakin luas diperkirakan membuat pasar saham AS terkoreksi lebih dalam. Saat ini, DJIA terkoreksi 16,42% secara year-to-date. Selama periode yang sama, S&P 500 ambruk 14,8% dan Nasdaq minus 11,18%.

"Kami memperkirakan koreksi sekitar 20% di pasar saham tahun ini. Kita sedang terjun bebas dari gedung 20 lantai, sekarang baru sampai lantai 10," kata John Lekas, CEO di Leader Capital, seperti dikutip dari Reuters.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular