
Kian Tak Berdaya, Rupiah Kini Terlemah di Asia!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
06 March 2020 09:25

Dari faktor eksternal, investor memang sedang mencemaskan perkembangan penyebaran virus corona yang semakin luas. Berdasarkan data satelit pemetaan ArcGis pukul 07:43 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia mencapai 98.041. Korban meninggal bertambah menjadi 3.349.
Tidak hanya di China yang merupakan lokasi awal penyebaran virus, dunia mencemaskan situasi di negara-negara lain. Di Korea Selatan, kasus corona sudah mencapai 6.088 dan yang tutup usia adalah 35 orang.
Sedangkan di Italia, jumlah kasus adalah 3.858 dengan korban jiwa sebanyak 148 orang. Lalu di Iran, jumlah kasus tercatat 3.513 dan korban meninggal adalah 107 orang.
Virus corona membuat aktivitas masyarakat menjadi terhambat. Pabrik-pabrik berhenti produksi karena karyawan dipulangkan, pariwisata sepi karena pelancong tidak berani plesiran, ekspor-impor lesu karena aktivitas di pelabuhan berkurang. Dunia dihadapkan kepada risiko perlambatan ekonomi yang begitu tinggi.
Dalam situasi seperti ini, investor pun mencari aman dengan memburu aset-aset safe haven. Instrumen yang menjadi pilihan pasar adalah obligasi pemerintah AS.
Pada pukul 09:08 WIB, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun turun ke 0,8371%. Ini adalah titik terendah sepanjang sejarah. Penurunan yield menandakan harga obligasi sedang naik karena tingginya permintaan.
Minimnya arus modal yang mengalir ke pasar keuangan Asia membuat mayoritas mata uang Asia melemah. Rupiah tidak terkecuali.
Sementara dari dalam negeri, investor menantikan rilis data cadangan devisa periode Februari. Konsensus pasar yang dihimpun Trading Economics memperkirakan cadangan devisa Februari sebesar US$ 131,2 miliar. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu US% 131,7 miliar.
Â
Penurunan cadangan devisa bisa memunculkan persepsi bahwa 'amunisi' Bank Indonesia (BI) untuk stabilisasi rupiah berkurang. Pandangan seperti ini akan membuat rupiah rentan terdepresiasi.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Tidak hanya di China yang merupakan lokasi awal penyebaran virus, dunia mencemaskan situasi di negara-negara lain. Di Korea Selatan, kasus corona sudah mencapai 6.088 dan yang tutup usia adalah 35 orang.
Sedangkan di Italia, jumlah kasus adalah 3.858 dengan korban jiwa sebanyak 148 orang. Lalu di Iran, jumlah kasus tercatat 3.513 dan korban meninggal adalah 107 orang.
Virus corona membuat aktivitas masyarakat menjadi terhambat. Pabrik-pabrik berhenti produksi karena karyawan dipulangkan, pariwisata sepi karena pelancong tidak berani plesiran, ekspor-impor lesu karena aktivitas di pelabuhan berkurang. Dunia dihadapkan kepada risiko perlambatan ekonomi yang begitu tinggi.
Dalam situasi seperti ini, investor pun mencari aman dengan memburu aset-aset safe haven. Instrumen yang menjadi pilihan pasar adalah obligasi pemerintah AS.
Pada pukul 09:08 WIB, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun turun ke 0,8371%. Ini adalah titik terendah sepanjang sejarah. Penurunan yield menandakan harga obligasi sedang naik karena tingginya permintaan.
Minimnya arus modal yang mengalir ke pasar keuangan Asia membuat mayoritas mata uang Asia melemah. Rupiah tidak terkecuali.
Sementara dari dalam negeri, investor menantikan rilis data cadangan devisa periode Februari. Konsensus pasar yang dihimpun Trading Economics memperkirakan cadangan devisa Februari sebesar US$ 131,2 miliar. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu US% 131,7 miliar.
Â
Penurunan cadangan devisa bisa memunculkan persepsi bahwa 'amunisi' Bank Indonesia (BI) untuk stabilisasi rupiah berkurang. Pandangan seperti ini akan membuat rupiah rentan terdepresiasi.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular